Saat ini, sudah menjelang 21 April, ulang tahun Ibu Kartini, legenda perempuan Indonesia pendamba kebebasan. Inspirasinya sudah membuat para perempuan Indonesia bangkit dan merasa mampu menciptakan terobosan di berbagai bidang. Perempuan pilot, pengemudi bus besar, pemimpin-pemimpin penelitian, politisi ternama, hingga pengusaha sukses.
Perempuan sudah tidak bisa dipandang enteng. Tengok menteri keuangan kita, Sri Mulyani Indrawati. Siapa yang tidak kagum melihat sosok dan gebrakan-gebrakannya. Apakah kaum Adam di sekitarnya merasa jengah dengan kehadiran pemimpin ini? Sama sekali tidak. Kita lihat, perempuan –yang notabene memang berjumlah lebih banyak daripada pria di dunia ini– sudah menunjukkan kekuatannya. Kita pun sudah membuktikan berapa banyak perempuan pemimpin negara yang ada di dunia ini, dengan gebrakan-gebrakan yang tidak bisa diragukan lagi.
Dalam keadaan isolasi yang akan memasuki minggu keempat ini, sebagian besar perusahaan sudah menerapkan kebijakan work from home. Fenomena menarik muncul ketika para perempuan yang sehari-harinya memiliki peran dalam pekerjaan, justru kemudian menghadapi persoalan tugas terkait jender dalam rumah tangga.
Kita kemudian sedikit mempertanyakan kesenjangan jender ini. Ada ibu yang begitu gemas karena sang anak tidak mau dibimbing mengerjakan pekerjaan sekolah oleh ayahnya. Sementara itu, pekerjaan dapur tetap saja dikerjakan sang ibu juga. Di keluarga lain, dengan perjanjian equality dalam semua peran, sang ayah ketika working from home mengunci diri, dengan alasan banyak melakukan rapat online sehingga hanya keluar kamar ketika makan siang dan selesai jam kerja.
Sang ibu yang juga harus berhubungan dengan kantor, terpaksa menjalankan tiga peran dalam sehari sehingga tidak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaan. Ketika giliran istri yang boleh berfokus pada pekerjaan, anak ingin berada dekat dengan sang ibu dan ayah tidak melakukan usaha lebih untuk mengambil hati anaknya. Di rumah lain, perjanjiannya jelas, mengasuh anak bersama-sama dan bergantian. Namun, sang ayah sering sekali tiba-tiba keluar menghilang, mengatasi stres dengan berkeliling menggunakan mobil.
Banyak hal lain yang lantas membuat para ibu bekerja merasa gemas. Tanggung jawab rumah tangga ini ternyata tetap mayoritas berada di tangan perempuan. Mengapa equality of gender menjadi tidak terasa ketika kita harus mengisolasi diri seperti saat ini? Tambahan lagi, demi keamanan banyak keluarga sudah meminimalkan kehadiran orang luar di rumah, alias meliburkan asisten rumah tangga yang memang tidak bekerja menginap. Tugas asisten rumah tangga hampir pasti beralih menjadi tugas ibu. Apakah ini dilatarbelakangi situasi? Ataukah memang masih ada stereotip jender yang menetap pada perempuan?
Melihat situasi ini, mari kita amati kembali hasil riset dan melihat beberapa contoh. Joanna Pepin, seorang sosiolog dari University of Texas di Austin, mengatakan, “Our beliefs about gender are really strong and sticky.”
Masih ingat cerita yang sudah melegenda mengenai CEO Pepsi Cola Indra K Nooyi yang pulang membawa berita gembira ke rumahnya ketika baru diangkat menjadi CEO? Beliau pulang ingin segera menceritakan pada ibunya yang sudah menunggu di depan pintu, namun ibunya langsung memotong, “Tundalah ceritamu itu. Tolong belikan susu sekarton. Kita kehabisan.” Indra tertegun dan bertanya, apakah suaminya sudah di rumah dan mengapa ibunya tidak meminta suaminya untuk membeli susu? Ibunya dengan tenang mengatakan, “Ia tidur. Ia lelah. Cepatlah beli susu itu.”
Para pria di dunia ini, tidak pernah menolak ide tentang gender equality. Namun, ketika kembali ke rumah, maka nilai-nilai tradisional masih mendominasi. Pada saat itu, siapa yang breadwinner, siapa yang lebih terampil melakukan tugas rumah tangga dan siapa yang lebih sibuk, tidak lagi dipedulikan. Siapa yang disalahkan bila rumah berantakan? Mungkinkah sang ayah? Siapa yang disalahkan jika cucian piring menumpuk?
Hasil penelitian menunjukkan, bahkan di negara paling maju –Amerika– dengan perjanjian yang paling equal saja, pada kenyataannya tugas rumah tangga perempuan dibanding pria tetap 60 berbanding 40. Hal yang juga menjadi kenyataan adalah perempuan memang lebih tekun dan kuat menyandang tugas yang tidak pernah ada selesainya ini. Pakaian disetrika untuk dipakai kembali. Piring dicuci untuk besoknya dikotori lagi. Hitung-hitungan tugas rumah ini menjadi semakin sulit karena tugas-tugas ini memang tugas-tugas yang unpaid, tidak bergaji. Jadi, memang karena tidak berstandar, tugas-tugas ini kemudian tidak bisa diberi nilai.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah idealisme tentang pola asuh anak yang sudah bergeser, tidak seperti zaman baby boomers lagi. Saat sekarang, para milennials menginginkan agar anak-anak mempunyai pendidikan yang lebih berkualitas, contohnya tidak boleh terlalu banyak menonton TV, perlu dibacakan cerita sebelum tidur, perlu menguasai keterampilan-keterampilan standar sesuai dengan perkembangan usianya, hingga perlu diajak bicara dan berdiskusi.
Hal-hal tersebut membuat pengasuhan anak membutuhkan lebih banyak waktu lagi dari orang tua, dan tidak bisa didelegasikan ke asisten rumah tangga. Tentu sudah bisa ditebak siapa yang memiliki concern terbesar dan pada akhirnya menanggung tugas pengasuhan lebih banyak: ibu.
Menjaga hubungan melalui pekerjaan rumah tangga
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga hubungan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga: Melakukan bersama, mengomunikasikan keadaan rumah kepada kantor, healthy arguments, membagi tugas harian dan menggunakan jasa bantuan.
Di rumah kenalan saya, ada 3 meja setrika: 2 meja besar dan 1 meja yang mungil. Ketika saya tanyakan mengapa meja setrika harus sampai demikian banyak, teman mengatakan, “Pekerjaan yang paling kami benci adalah menyetrika, maka kami putuskan untuk melakukannya bersama: ayah, ibu, dan anak.” Jadi, tidak selamanya pekerjaan rumah diselesaikan dengan ‘berbagi’. Dengan mengerjakan bersama, kita bisa mendapatkan beberapa hal sekaligus: pekerjaan beres, kebersamaan, dan empati.
Selain mengerjakan bersama, kita dapat mengomunikasikan keadaan kita kepada rekan kerja. Bila perlu melakukan rapat virtual, misalnya, kita bisa meminta izin pada atasan di kantor bahwa interupsi pasangan atau anak tidak dapat dihindari. Dari sana, walaupun setiap pasangan juga berusaha untuk tidak mengganggu, kita yang sedang rapat pun tidak terlalu tegang.
Kita juga perlu membedakan antara argumentasi yang sudah memuncak dan healthy arguments. Dalam keseharian rumah tangga, tidak jarang perbedaan ekspektasi, persepsi dan emosi muncul. Komunikasikan perasaan dan pikiran masing-masing dengan asertif dan sehat agar tidak menjadi bom waktu.
Sepakatilah pembagian tugas dalam rumah tangga. Tidak ada salahnya kita membuat daftar tugas harian yang memang harus diselesaikan hari itu secara detail sehingga masing-masing pasangan menyadari apa saja yang belum selesai dan seberapa banyak kontribusi yang sudah diberikan. Kita pun bisa mendiskusikan baik-baik, apa yang prioritas dan apa yang bisa ditunda.
Lalu lakukan evaluasi secara berkala. Tidak ada salahnya kita memilih apa saja yang bisa kita outsource. Misalnya, cucian yang saat sekarang sudah banyak jasa binatunya. Demikian pula dengan urusan makan. Tidak selamanya kita perlu memasak. Banyak jasa layanan antar makanan sehat, dari makanan anak sampai dewasa.
Yang jelas, hal yang perlu disepakati bersama pertama kali adalah bahwa urusan rumah tangga adalah tanggung jawab berdua, bukan perempuan sendiri. “The biggest mistake you can make in your quest to have your partner do more chores around the house is to ask for help. Asking for help implies that the responsibility for the chores belongs to just you”.
Eileen Rachman & Dyah Larasati
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 18 April 2020.