Kita berusaha sebisa mungkin membatasi pergerakan kita. Ekonomi dan bisnis bergerak ke arah virtual. Home schooling terjadi tanpa ada pilihan. We are living in a sea of the unknown. Kita hanya berusaha bersih dari kuman, melakukan physical distancing dan bertahan dalam segala keterbatasan yang ada.
Namun, di benak kita, pasti terdapat seribu satu pertanyaan tentang hal-hal yang tidak menentu ini. Pada dasarnya, manusia menyukai kepastian, yang akan membawa rasa aman dan nyaman pada diri kita. Ketidakpastian bisa membuat kita merasa tidak berdaya.
Saat ini, semua orang merasakan hal ini meskipun dalam kadar yang berbeda-beda. Anak-anak dan remaja mempertanyakan, kapan badai ini berlalu dan masa-masa menyenangkannya akan kembali. Sementara itu, fresh graduates, yang menduduki posisi paling bawah dalam organisasi, berdebar-debar karena kemungkinan besar akan terkena pemotongan bila organisasi terpaksa diperkecil. Belum lagi karyawan yang dirumahkan tanpa bekal pemasukan sama sekali karena perusahaan tidak mempunyai cadangan dana untuk membekali mereka.
Kita pun melihat bagaimana ekspresi kebingungan para pejabat negara dalam menentukan strategi memitigasi akibat yang lebih parah lagi dalam krisis ini. Pertanyaannya, apakah ketidakpastian ini bisa mengancam kesehatan mental kita? Dan, bila dilihat dalam skala yang lebih besar lagi, apakah pemimpin kita kuat menjaga kewarasannya untuk menghadapi uncertainty yang berkepanjangan ini?
Menyelami ketidakpastian
Kalau memang ketidakpastian ini adalah situasi yang mau tidak mau harus dihadapi, seyogianya kita perlu beradaptasi, belajar hidup bersama dengannya karena kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan keberadaan si ketidakpastian ini dan memelihara kekalutan.
Pertama, untuk mendapatkan sebagian rasa kepastian, kita harus bisa memilah berita, informasi, dan pendapat orang yang bisa dan sudah dibuktikan secara ilmiah. Bukankah lebih baik tahu apa yang bisa kita kontrol, sebelum menghadapi hal-hal yang tidak bisa kita kontrol?
Kedua, kita juga perlu menyadari kebiasaan-kebiasaan berpikir kita. Apakah kita memang orang yang selalu membawa negative vibes? Atau kita memang bisa membangun pikiran yang sehat melalui pengembangan rasa sayang, humor, kreativitas, dan tetap menjaga agar hal-hal ini senantiasa ada di sekeliling kita? Sikap positif akan menjadi landasan yang kuat, terutama bila keadaan tak jelas ini semakin kencang goyangannya.
Dengan dua modal di atas, kita perlu menerima keberadaan ketidakpastian ini. Bukan lagi terus bertanya: sampai kapan situasi ini berakhir? Namun, menumbuhkan sikap mental menerima ketidakpastian dan hidup selaras dengannya. Coba renungkan: apakah kita bisa memastikan keselamatan kita ketika bepergian dengan pesawat udara? Setiap bepergian dengan pesawat udara, kita menerima ketidakpastian dengan rasa pasrah. Kita memang mengikuti semua aturan keselamatan penerbangan, tetapi selebihnya, kita hanya bisa berpasrah.
Hidupkan “conscious activism”
Seorang tokoh desain menulis dalam media sosialnya: “Don’t stop, stay home”. Suatu jalan pikir yang sebenarnya dilematis karena selagi kita dilanda ketidakpastian di rumah, kita juga tidak boleh berhenti. Sebenarnya banyak di antara kita yang sudah melakukan hal ini. Banyak di antara kita yang terkurung di rumah, tetapi tetap memutar otak dan duduk menghadapi komputer lebih dari 10 jam. Kita aktif, tidak pasif. Namun, bekerja 10 jam menghadapi komputer tanpa kejelasan tentunya akan memakan energi kita juga.
Kita benar-benar perlu menelaah values kita, apa yang kita anggap sangat penting dalam situasi ini, baru menyesuaikan irama derap kita hingga selaras dengannya. Ada yang tetap menjalankan proyek pengembangan, memelihara pelanggan setianya baik-baik karena berkeyakinan bahwa dengan produk yang baik, pelanggan tetap akan memakai jasanya.
Ada yang berbelok arah, memanfaatkan masa dalam titik nol ini untuk memulai hal baru yang sudah lama ingin dilakukannya. Ada juga yang berprinsip survival, berhitung dengan cermat kekuatannya untuk bertahan dalam keadaan ini dan menjalankannya dengan ketat.
Masing-masing dari kita bisa mengambil peran aktif dalam gerak menembus ketidakpastian ini. Ada teman yang bergabung dengan organisasi donasi, ada yang bergerak di bidang pendidikan, bahkan ada yang berpikir bahwa kegiatan ini bisa ia jadikan landasan untuk masa depannya bila situasi krisis berlalu. Kita pun bisa mencari organisasi yang mempunyai “nilai-nilai” yang sama dengan kita sehingga kita bisa berkumpul dengan individu yang memiliki semangat yang sama dan meningkatkan energi kita.
Kita memang perlu menjaga fisik, napas, dan energi kita. Olahraga adalah jawaban yang paling tepat supaya kita secara fisik tetap dapat memelihara kekuatan napas. Namun, kita juga bisa belajar dari sejarah, bencana yang pernah terjadi di muka bumi ini dan kemudian berusaha melihat ke depan, menentukan apa yang bisa kita kejar dari tempat kita berpijak sekarang.
Hal yang juga bisa menguatkan mental kita adalah bersyukur. Bersyukur atas hal-hal baik yang masih kita alami sekarang, sekecil apa pun itu. Keuntungan dari bersyukur ini tidak hanya berguna bagi hubungan kita dengan Yang Mahakuasa, tetapi juga membuat kita lebih kuat bereaksi dalam situasi yang tidak pasti ini. Kita bisa merasa lebih kuat dan menolong mereka yang membutuhkan. Begitu bisa menjaga emosi, memelihara hubungan dengan orang lain dan berpikir obyektif, kita pasti bisa menjaga kewarasan kita juga.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 9 Mei 2020.