Pelecehan seksual merupakan salah satu masalah yang terus menghantui perempuan. Akhir-akhir ini, marak beredar kasus mengenai pelecehan atau kekerasan seksual di media sosial. Lokasi kejadiannya pun beragam, ada yang terjadi di ruang publik, ruang privat, hingga dunia maya. Bahkan, pandemi pun seakan-akan tak bisa menghentikan permasalahan ini.

“Pelecehan adalah perilaku yang ditujukan untuk menghina, merendahkan. Begitu. Jadi, kasarannya itu kayak perilaku ngejajah, nodong. Gitu aja,” jelas Toge Aprilianto, Psikolog dan Teman Belajar Dear Astrid.

KRPA dalam Kompas menemukan fakta bahwa pelecehan seksual di ruang publik sering terjadi di jalanan dan transportasi umum. Pelecehan di jalanan terbilang lebih tinggi, yaitu sebesar 28,22 persen. Dua tertinggi bentuk tindakan yang sering dilakukan adalah siulan (5.392) dan komentar atas tubuh (3.628).

Fakta itu tentu saja sangat menyakitkan. Ruang publik yang merupakan tempat umum masih belum bisa memberikan keamanan untuk perempuan. Mereka sering kali mendapatkan panggilan-panggilan tak diinginkan, seperti siulan, dari para lelaki yang biasanya bergerombol. Tindakan tak nyaman inilah yang disebut dengan catcalling.

Chhun (2011) dalam “Catcalls: Protected Speech or Fighting Words” mengidentifikasikan catcalling sebagai penggunaan kata-kata yang tak senonoh, ekspresi secara verbal dan nonverbal yang kejadiannya terjadi di tempat publik. Secara verbal, catcalling biasanya dilakukan melalui siulan atau komentar mengenai penampilan seorang perempuan. Sementara itu, ekspresi nonverbal biasanya berupa lirikan atau gestur fisik yang bertindak untuk memberikan penilaian.

Mengapa catcalling masih terus dinormalisasi?

Pelaku catcalling biasanya berlindung di balik candaan saat aksinya ditegur. Mereka ingin melihat reaksi korbannya merasa risih dan terganggu. Jadi, ketika korban memberikan reaksi marah atau salah tingkah, tujuan pelaku tercapai.

Selain itu, pemahaman masyarakat soal perilaku catcalling masih sangat rendah karena adanya pewajaran. Masyarakat kita masih banyak yang menganggap catcalling adalah hal biasa karena merupakan bentuk dari candaan dan pujian. Alhasil, perilaku tak senonoh ini terus terjadi berulang-ulang.

Masyarakat patriarkal turut membuat catcalling dinormalisasi. Kebanyakan dari pelaku adalah laki-laki yang lebih merasa dominan dan berkuasa daripada perempuan. Dengan melakukan itu, para lelaki punya intensi untuk menunjukkan kekuasaannya dengan cara mengintimidasi korbannya.

“Tujuannya untuk mendominasi sehingga memang, perilaku itu ditunjukkan oleh orang yang merasa dominan,” tambah Toge dalam siniar Anyaman Jiwa episode “Pelecehan Verbal di Ruang Publik (Catcalling)”.

Meskipun beberapa orang bilang itu bukanlah hal serius, tapi apabila korban sudah merasa tak nyaman, itu sudah termasuk ke dalam pelecehan. Jadi, jangan sampai candaan seksis terus dinormalisasi. Candaan-candaan yang dianggap remeh inilah yang merupakan gunung es dari kasus kekerasan yang lebih parah.

Dampaknya terhadap korban

Perilaku catcalling memberikan dampak yang signifikan. Pada saat itu juga, tindakan ini membuat korbannya merasa marah, kesal, malu, terancam, dan takut kalau aksi pelaku semakin parah. Bahkan, catcalling diyakini bisa meningkatkan risiko terjadinya pemerkosaan. Terlebih, pelaku biasanya melakukan aksi itu tak sendirian.

Bagi perempuan, mengalami catcalling merupakan bentuk dari objektifikasi. Mereka seakan dianggap sebagai objek yang bisa dipermainkan dan direnggut kebebasannya. Korban pun akan selalu cemas dengan penampilannya. Kecemasan yang berlebihan bisa menimbulkan masalah mental, seperti depresi, gangguan makan, dan penurunan produktivitas.

Tindakan ini juga tak bisa membuat korban pergi ke mana-mana dengan tenang, terlebih bagi perempuan. Pada akhirnya, mereka dituntut untuk selalu waspada dengan menghindari jalanan sepi dan pulang lebih awal, menyediakan senjata kecil, serta memakai pakaian yang tertutup.

Cara menghindari pelaku catcalling

Untuk menghindari pelaku catcalling dan meminimalisasi dampaknya, Modern Intimacy memberikan beberapa tips. Pertama, buatlah kontak mata yang kuat dengan muka datar dengan para pelaku. Pada beberapa kasus, hal ini bisa mengejutkan mereka.

Kedua, jangan memprovokasi pelaku dengan kata-kata kasar. Hal ini dikhawatirkan akan memancing tindak kekerasan dari pelaku. Ketiga, apabila pelaku sudah dalam tahap sampai mengikuti kita, segera cari pertolongan dengan pura-pura bergabung bersama kumpulan orang. Yang terakhir, jangan lupa untuk selalu sedia benda-benda perlindungan diri, seperti semprotan cabai atau benda tajam (pulpen).

“Kalau  mau survive menghadapi situasi seperti itu,  kita perlu memastikan atau minimal mengusahakan secara emosi secara mental itu kuat; kokoh. Jadi, ketika orang berusaha merendahkan kita, kita tidak merasa rendah,” tambah Toge.

Pemaparan lengkap Toge Aprilianto terkait catcalling bisa kalian dengarkan di siniar Anyaman Jiwa episode episode “Pelecehan Verbal di Ruang Publik (Catcalling)”. Dengarkan siniarnya di Spotify atau akses tautan berikut https://spoti.fi/3rpdf1m.

 

Penulis: Alifia Putri Yudanti & Ikko Anata

Baca juga : Lawan Cyberbullying, Selamatkan Lebih Banyak Nyawa.