Sebut saja, pendanaan yang terbatas, tingginya persaingan dengan kompetitor, kesalahan dalam memilih lokasi, pengelolaan yang buruk, atau penipuan dan korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak terlibat yang tak bertanggung jawab.
Dalam banyak kasus, hambatan-hambatan dalam bisnis bukan berarti akhir dari segalanya. Ini adalah kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh pendiri bisnis maupun tim yang dipimpinnya untuk melakukan evaluasi, lantas bangkit kembali.
Salah satu teknik untuk mengulik permasalahan dalam bisnis yang dapat diterapkan, yakni dengan bertanya.
Mengutip dari Harvard Business Review (HBR), bertanya (questioning) dapat menjadi alat yang unik dan kuat untuk dapat menyingkap nilai-nilai dalam sebuah organisasi. Melalui pertanyaan yang tepat, dapat lahir sebuah pembelajaran dan pertukaran ide. Pertanyaan juga dapat memicu adanya inovasi, perbaikan performa, kepercayaan antar anggota tim, hingga yang paling penting, memitigasi risiko-risiko dalam bisnis.
Alasan yang menghambat orang untuk bertanya
Tidak semua orang terbiasa untuk bertanya. Ada beberapa alasan yang melandasinya. Masih mengutip dari HBR, ketidakinginan seseorang untuk bertanya kepada orang lain dapat terjadi karena sikap egosentris.
Egosentris, melansir dari Psychology Today, dipahami sebagai batasan berpersepsi yang secara natural terbentuk akibat keengganan untuk melihat dunia selain melalui perspektif diri sendiri. Seseorang yang terlalu fokus untuk membuat orang lain terkesan dengan opini, ide, dan cerita pribadinya, akan cenderung enggan bahkan tidak terpikir untuk bertanya mengenai persepsi orang lain.
Selain akibat egosentris, sikap apatis juga dapat menjadi alasan yang menghambat seseorang dalam bertanya. Ketidakacuhan, juga kepercayaan diri yang melambung tinggi, membuat seseorang merasa bahwa mereka telah mengetahui jawaban yang paling tepat. Di luar itu, perasaan takut akan dicap inkompeten atau tidak sopan, turut menjadi penghambat dalam bertanya.
Padahal, jika memahami manfaat dari bertanya, kebiasaan ini dapat menjadi hal yang bernilai. Pada dasarnya, setiap orang memiliki ilmu dan pengalaman unik yang tidak mudah ditemui pada individu lain. Maka dari itu, buanglah jauh-jauh ego maupun asumsi-asumsi buruk tentang bertanya, yang hanya akan menjauhkan diri dari pelajaran yang berharga.
Merumuskan pertanyaan yang tepat
Mengutip Ray Zinn, wirausaha di Silicon Valley dalam salah satu artikelnya, untuk berkomunikasi dengan baik, seseorang perlu menyampaikan pertanyaan yang tepat di waktu yang tepat pula. Pertanyaan yang salah, dapat diprediksi menghadirkan jawaban yang sama-sama salah. Begitu pula dengan pertanyaan yang benar, jika ditanyakan pada waktu yang salah dan dalam konteks yang salah, akan menghasilkan jawaban yang sia-sia pula.
Untuk membangun pertanyaan yang tepat, ia membuat beberapa formula: hindari pertanyaan retorik, menjebak, maupun yang terlalu tertuju (direct). Berikanlah pertanyaan terbuka agar tidak membatasi imajinasi dan kedalaman jawaban dari lawan bicara. Alih-alih bertanya ‘produk apa yang sebaiknya kita buat, A atau B?’, tanyakanlah hal yang mendetail, seperti ‘apa produk yang betul-betul dibutuhkan oleh pasar, serta bagaimana solusi dari kita dapat memuaskan kebutuhan tersebut?’. Bertanyalah sebagaimana kita ingin ditanya oleh orang lain.
Tung Desem Waringin, wirausaha sekaligus penulis dan pelatih bisnis pun menyebut bahwasanya dalam bertanya, diperlukan redaksi yang tepat dan jauh dari kesan ‘biasa-biasa saja’ agar dapat menghadirkan revolusi dalam kehidupan dan bisnis. Oleh karenanya, untuk merumuskan pertanyaan, Tung mengajak setiap pendiri bisnis untuk mengubah redaksi dan pola pikirnya secara keseluruhan. Hal ini diutarakannya melalui siniar Smart Inspiration yang bertajuk “Kenali Revolusi Pertanyaan dan Rasakan Dampaknya”.
Kala merintis bisnis, pertanyaan seperti ‘bagaimana jika saya mengalami kebangkrutan dalam berbisnis?’ hanya akan membuat seorang pendiri memupuk ketakutan dan mundur satu langkah dari eksekusi bisnisnya. Alih-alih menanyakan hal tersebut, pebisnis sebaiknya melancarkan pertanyaan seperti, ‘bagaimana cara yang dapat saya lakukan agar bisnis ini berhasil?’ Pengubahan redaksi yang sangat sederhana tersebut dapat mengubah pola berpikir seseorang, yang tadinya pesimis menjadi optimis. Selanjutnya, pekerjaan rumah bagi pebisnis tersebut tinggallah menemukan sosok dan waktu yang tepat untuk menjawabnya.
Begitu pula ketika menghadapi kendala bisnis lainnya, misalnya dana yang dikorupsi oleh salah seorang karyawan. Pendiri bisnis yang pesimistis akan cenderung mempertanyakan, ‘untuk apa repot-repot bangkit dari kegagalan kalau suatu saat akan dikorupsi dan bangkrut lagi?’
Bagi Tung, tipe pertanyaan seperti itu hanya akan mengarahkan para pendiri bisnis kepada emosi yang tidak tepat. Ia pun merekomendasikan untuk mengubah pertanyaan tersebut menjadi, ‘apa yang dapat saya pelajari dari kesalahan ini?’ untuk menemukan celah permasalahannya; serta ‘apa yang dapat saya lakukan untuk membuat saya merasa lebih baik?’ untuk sedikit demi sedikit menghapus rasa marah dan penyesalan dari kejadian merugikan tersebut.
Pertanyaan yang tepat dapat mengarahkan seseorang untuk bangkit dari keterpurukannya. Beranikanlah diri untuk merasa salah maupun tidak nyaman ketika merumuskan pertanyaan tersebut, demi mendapat jawaban terbaik. Satu hal yang perlu diingat: kala bertanya, rendah hatilah untuk mendengarkan jawaban dari orang lain. Jangan jadikan konversasi layaknya interogasi, jadikanlah momen tersebut layaknya misi untuk mencari fakta bersama.
Pelajari lebih lanjut mengenai pertanyaan yang ‘revolusioner’ ala Tung Desem Waringin dalam serial siniar Inspiration of Smart Business episode ke-37 yang berjudul “Kenali Revolusi Pertanyaan dan Rasakan Dampaknya”. Dengarkan selengkapnya di Spotify dengan mengakses tautan berikut: https://bit.ly/SmartBusiness37.
Penulis: Intania Ayumirza & Miletresia