Bila mengetikkan “dampak stres” di mesin-mesin pencari, tidak ada satu pun dampak positif yang kita temukan. Tidak heran hal ini membuat kita senantiasa berupaya menghindari stres yang dianggap sebagai momok dalam kehidupan kita.
Hal itu juga yang dilakukan psikolog kesehatan Kelly McGonigal dalam praktiknya 10 tahun terakhir. Ia senantiasa mengajarkan kepada para pasiennya bagaimana cara menghindari stres. Namun, sebuah studi yang melibatkan lebih dari 30 ribu orang dewasa di Amerika Serikat selama delapan tahun, telah mengubah keyakinannya.
Dalam studi tersebut ditemukan bahwa mereka yang tidak menganggap stres adalah suatu hal yang berbahaya, memiliki risiko kematian yang lebih rendah daripada mereka yang menganggap stres itu memang buruk, terlepas dari tingkat stres yang dialaminya.
Dari situ, kita bisa melihat bahwa persepsi orang terhadap stres ternyata lebih berbahaya daripada stres itu sendiri. Berdasarkan studi inilah McGonigal kemudian melakukan penelitiannya sendiri dan meluncurkan buku The Upside of Stres yang mengajarkan bagaimana memanfaatkan stres untuk kebaikan diri kita.
McGonigal menekankan, bukan stres itu sendiri yang berbahaya, melainkan cara kita memandang streslah yang menentukan dampak terhadap kesehatan fisik dan mental kita.
Para peneliti di Universitas Harvard melakukan studi dengan menggunakan social stres test. Peserta diberi tantangan yang sangat menegangkan, seperti melakukan presentasi spontan di depan panel yang memberikan komentar negatif serta mengerjakan ujian matematika yang penuh tekanan. Situasi ini kemungkinan besar akan membuat para peserta mengalami kondisi jantung yang berdebar kencang, bernapas lebih cepat, hingga berkeringat.
Namun, sebelum menjalani tes ini, beberapa peserta diajarkan untuk melihat respons tubuh mereka terhadap stres sebagai sesuatu yang positif. Mereka diyakinkan bahwa detak jantung dan pernapasan yang cepat adalah tanda bahwa tubuh mereka sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan.
Hasilnya ternyata sungguh luar biasa. Mereka yang melihat stres sebagai hal yang positif menunjukkan perubahan signifikan dalam cara tubuh mereka merespons stres. Biasanya ketika stres, pembuluh darah akan menyempit sehingga menyebabkan masalah peredaran darah, yakni kardiovaskular.
Namun, pada peserta yang melihat stres secara positif, pembuluh darah mereka tetap relaks meskipun detak jantung meningkat. Ini adalah keadaan kardiovaskular yang sehat, menyerupai kondisi yang terjadi pada saat keberanian kita ditantang, atau pada saat kita sangat bahagia.
Dengan demikian, timbul pertanyaan: bagaimana kita mengubah cara kita memandang stres sehingga memiliki dampak positif terhadap tubuh dan stres tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dihindari? Sebab, pada kenyataannya stres selalu menjadi bagian dari hidup manusia.
Stres, mekanisme resiliensi dan membangun koneksi
Persepsi kita terhadap stres tidak hanya mengubah cara kita bereaksi terhadap stres secara fisik, tetapi juga menciptakan rasa keberanian dan ketahanan yang lebih kuat.
Gisele Pelicot, perempuan Perancis berusia 71 tahun baru mengetahui bahwa suaminya selama kurun waktu 2011–2020 telah menjualnya di situs daring dalam kondisi ia tidak sadar akibat obat-obatan yang diberikan suaminya.
Namun, berbeda dengan kebanyakan korban pelecehan seksual lainnya Gisele justru memilih persidangan terbuka dengan tujuan meningkatkan kesadaran publik terhadap kasus pelecehan seksual sehingga dapat membantu korban pelecehan seksual lainnya. Ia berharap kesaksiannya dapat menyelamatkan orang lain dari nasib yang sama.
Ketika melihat setiap pengalaman stres sebagai peluang untuk belajar dan bertumbuh, respons stres membantu kita bertahan. Ketika diberikan tugas dan tanggung jawab baru, adrenalin meningkat dan kita menjadi bersemangat untuk menunjukkan potensi dan keahlian kita. Sementara bila memandangnya sebagai sebuah potensi bahaya yang akan membuat hidup susah, kita akan merasa lemah dan semakin tidak berdaya menghadapi penugasan baru itu.
Salah satu respons terhadap stres yang dikeluarkan tubuh adalah pelepasan hormon oksitosin. Hormon ini berfungsi sebagai anti-inflamasi alami dan membantu pembuluh darah tetap relaks saat mengalami stres serta membantu sel-sel jantung untuk beregenerasi dan sembuh dari kerusakan akibat stres.
Baca juga: Jebakan Perfeksionisme
Hormon ini memotivasi kita mencari dukungan dan mendorong untuk mengungkapkan perasaan kepada orang lain, alih-alih memendamnya. Selain itu, berfungsi untuk mengingatkan kita agar peka terhadap orang-orang di sekitar kita yang mungkin mengalami kesulitan, sehingga kita dapat saling mendukung. Ini mekanisme biologis yang membantu kita bertahan dari stres melalui hubungan sosial.
Jadi, ketika menjangkau orang lain dalam kondisi stres, baik untuk mencari dukungan maupun membantu seseorang, kita melepaskan lebih banyak hormon ini dan memperkuat tubuh dalam membangun ketahanan terhadap stres. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal istilah “curhat” yang ternyata memang bisa membuat kita lega.
Penelitian juga menemukan, mereka yang sering membantu orang lain tidak menunjukkan peningkatan risiko kematian akibat stres. Kepedulian justru menciptakan ketahanan.
Mengembangkan pola pikir adaptif
Dengan peningkatan kesadaran dan kepekaan, kita bisa merasakan kapan stres muncul sehingga kita dapat mencari cara terbaik untuk memprosesnya. Ada yang melakukan walk meditation, olahraga jalan kaki sambil merenungi apa yang sedang terjadi.
Ada juga yang segera melakukan teknik relaksasi pribadi untuk melepaskan ketegangan tubuhnya yang terjadi tanpa sadar. Ada pula yang mencari orang lain untuk diajak bicara.
Setiap individu perlu mengenali efektivitas cara pribadinya dalam mengelola stres. Ini berarti belajar dari setiap tantangan yang kita hadapi dan memahami bahwa kita memiliki kekuatan untuk mengatasinya.
“Stres terjadi ketika sesuatu yang Anda sayangi dipertaruhkan. Ini bukan tanda untuk melarikan diri, ini adalah tanda untuk melangkah maju.” – Kelly McGonigal
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.