Tidak jarang, kita terus berkutat mencari sumber kesalahan atau masalah, mungkin sibuk menyalahkan orang lain atau juga diri kita sendiri. Jarang kita langsung berpikir apa yang dapat dilakukan untuk menanggulangi atau meminimalkan akibat dari kesalahan itu ataupun mencari kesempatan yang dapat dimanfaatkan dalam situasi yang tidak baik ini.
Kebiasaan berpikir seperti ini tanpa disadari dapat menular pada suatu organisasi. Bila melihat data-data penjualan yang buruk, perhatian kita mungkin saja tersedot untuk menemukan penyebab dari buruknya angka penjualan tersebut sampai lupa memutuskan langkah solusinya. Bahkan, ada atasan yang senang sekali menunjukkan kesalahan anak buahnya, membiarkan mereka berkutat menerka keinginannya, tanpa ada diskusi yang menjurus pada penyelesaian, dan pada akhirnya membuahkan frustrasi. Kondisi yang dihadapi ini seakan-akan bernada: “Something is broken, fix it.”
Suasana seperti ini bisa berjalan terus sampai bertahun-tahun, tanpa kita sadar, ada jalan yang lebih baik untuk membuat organisasi menjadi lebih efektif. Bila seluruh individu dalam perusahaan berusaha untuk berfokus pada solusi, pembelajaran dan pengembangan pun akan terarah pada keterampilan-keterampilan yang bernapas pencarian solusi.
Kenali masalah yang bisa diperbaiki dan yang tidak
Banyak dari kita sudah mengikuti pelatihan problem solving dengan beragam model diagram cara menganalisis akar permasalahannya sebelum masuk pada solusi. Namun, bila begitu berfokus mencari akar permasalahan, apalagi bila itu adalah hal-hal yang tidak bisa kita ubah, ada kalanya kita sudah kelelahan ketika sampai pada tahap mencari solusi. Mental menjadi lelah karena terjebak pada kompleksitas situasi. Mencari kesalahan dapat menggiring kita menemukan kesalahan yang lain dan membuat kita lupa “move forward“.
Misalnya, seseorang yang tidak percaya diri, bisa saja melihat kepribadiannya terbentuk seperti itu akibat orangtua yang galak dan keras. Namun, apakah hal ini berguna bagi pengembangan dirinya? Tidakkah lebih baik kita mencari tahu situasi apa yang dapat membuatnya merasa nyaman dan apa yang perlu ia lakukan agar ia dapat mengembangkan rasa nyaman itu dalam berbagai situasi lainnya sehingga rasa percaya dirinya pun makin lama makin berkembang.
Di dalam organisasi bisa saja ada individu-individu yang merasa tidak sejalan lagi dengan organisasi. Daripada kita menghabiskan waktu untuk mencari tahu bagaimana dapat mengubah organisasi demi memenuhi keinginannya, lebih baik kita berfokus pada mereka yang sejalan dengan organisasi. Zappos bahkan memberikan 1.000 dollar AS pada karyawan baru yang setelah mengikuti masa orientasi menganggap bahwa budaya dan nilai perusahaan tidak cocok dengan nilai-nilai pribadinya dan memutuskan untuk mundur dari perusahaan.
Otak kita pun berperan dalam mengatur cara kita berpikir. Bila kita berfokus pada masalah yang tidak terlihat jalan keluarnya, hormon-hormon seperti kortisol dan adrenalin akan mengaktivasi sistem limbik otak kita. Moda defensif ini membuat rasa ingin tahu, imajinasi, dan inspirasi menghilang.
Mitos mengenai unlearning
Orang sering berpikir, proses unlearning adalah semacam menghapus kejadian-kejadian lama yang telah kita alami dari benak. Namun, kerja otak tidak sesederhana itu. Otak kita pandai sekali menelusuri sejarah pengalaman pada masa lalu dan ingin melakukan repetisi dari pengalaman itu sehingga mudah menolak kebiasaan-kebiasaan baru. Ini sebabnya orang sering kembali ke pola kebiasaan lama dan sulit menghentikannya.
Dalam organisasi, tak jarang, kita melihat solusi yang dilakukan adalah hal yang sudah sering dilakukan pada masa lalu meskipun kita bisa melihat bahwa solusi tersebut ternyata tidak juga mengubah keadaan. Pertanyaan-pertanyaan analitis yang awalnya bertujuan menganalisis akar permasalahan sering membawa kita pada vicious cycle dan kembali pada jawaban yang itu-itu lagi.
Di sisi lain, ada kekuatan otak yang kita kenal dengan neuroplasticity, yang memungkinkan kita membuat jalur baru dengan algoritma baru di otak kita. Memang dibutuhkan keberanian untuk menerapkan sistem baru yang belum ada jejaknya dalam otak kita sampai ia terbiasa untuk selalu berpikir keluar dari kerangka yang selama ini sudah ada. It is creating, versus fixing. Dengan sikap mental seperti ini, kita akan berpegang pada pertanyaan what might work, bukan sekadar what caused the problem.
Dengan melihat apa yang ada sekarang dan bagaimana maju ke depan, perkembangan bisa kita dapatkan tanpa melihat masalah yang sudah lewat. Di sinilah kita akan banyak menemukan kejutan semacam “aha moments” atau pencerahan karena dapat melihat dengan jelas hal-hal yang selama ini ada di depan mata tapi terabaikan. Dengan membiasakan berpikir ke depan, otak kita akan menjadikan sistem berpikir ini sebagai default dan merangsang terus rasa ingin tahu dan imajinasi kita. It’s thinking about possibilities versus problem. Hope versus fear. Feeling like an optimist versus a pessimist.
Temukan perspektif baru dan ubah fokus kesadaran kita
Kita tahu bahwa manusia memang lebih mudah terpaku pada kebiasaan-kebiasaan lamanya. Karenanya menghentikan kebiasaan lama membutuhkan energi yang sangat besar mengingat secara tidak sadar kita akan terus-menerus ditarik kembali kepadanya. Untuk itu, membentuk kebiasaan baru merupakan jalan pintas yang cerdas karena akan menyedot energi dan perhatian kita sehingga kebiasaan lama pun terabaikan.
Misalnya saja, bila kita ingin menghentikan kebiasaan merokok. Daripada sibuk menganalisis penyebab kecanduan dan berusaha menghilangkannya, lebih baik bila kita mulai saja berolahraga secara rutin, berkumpul dengan komunitas baru yang terobsesi pada gaya hidup sehat. Bila mendapatkan reward positif yang kita cari di sini, kemungkinan besar dengan sendirinya kebiasaan merokok itu pun hilang dengan sendirinya. We change the focus of our awareness to something new.
Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
HR Consultant/ Konsultan SDM
Baca juga : Karakter Resilient , Getting Back After a Set Back