Tidak sedikit filsafat yang dijadikan landasan hidup bahagia. Salah satunya adalah filsafat stoik atau stoa yang dikemukakan oleh filsuf Yunani Kuno, yaitu Zeno.

Filsafat stoa sendiri mengacu pada rasa kagum atas tatanan dan keteraturan. Hal ini juga yang dijelaskan Henry Manampiring, penulis buku Filosofi Teras (2018) dalam siniar Beginu bertajuk “Membuka Lembar Filosofi Teras” yang dapat diakses melalui dik.si/BeginuHenryP1.

Zeno sendiri mengungkapkan bahwa keteraturan di dunia bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah logos yang tidak hanya berkaitan dengan sifat rasional manusia. Pendek kata, logos di sini adalah rasio dunia yang mengarahkan segala sesuatu ke tujuan hakikinya, seperti nasib atau takdir.

Lantas, bagaimana mencapai kebahagiaan dengan filsafat stoa?

  1. Hidup sesuai kodratnya

Seneca mengungkapkan bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang dapat sepenuhnya menyesuaikan dirinya. Kodrat di sini adalah, manusia tidak dapat melepaskan diri dari hukum alam. Oleh karena itu, penting dalam filsafat stoa, manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan alam.

Pendek kata, manusia tidak perlu lagi tergantung pada apa pun yang sifatnya duniawi dan berada di luar kemampuannya. Keadaan ini juga termasuk dalam mengendalikan emosi dan nafsu. Sementara itu, manusia yang masih belum dapat mengendalikan hawa nafsu dan emosi berartikan dirinya masih tergantung oleh hal-hal yang sifatnya duniawi.

Lebih dari itu, manusia yang telah melepaskan segala hal yang sifatnya duniawi akan mencapai kebijaksanaan dan kebebasan.

  1. Mampu mengendalikan pikiran

Epictetus berpendapat bahwa kita tidak bisa mengendalikan apa yang sedang terjadi, orang-orang di sekitar, bahkan tidak semua bagian tubuh dapat kita kendalikan.

Satu-satunya yang dapat kita kendalikan adalah pikiran. Dengan mengendalikan pikiran, kita dapat menanggalkan segala hal yang membuat kita sedih dan membebani pikiran. Pengendalian pikiran ini akan membawa kita kepada prinsip penilaian kehidupan.

Itulah mengapa kita harus dapat mengidentifikasi beragam masalah yang layak dijadikan masalah atau angin lalu saja. Identifikasi ini juga akan memengaruhi kita dalam berkehidupan, khususnya ketika dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan.

Kita dapat belajar dari pengalaman Seneca yang mengalami pengasingan, banyak kehilangan, dan akhirnya dipaksa bunuh diri oleh Nero.

Dilansir dari theconversation.com, untuk melatih pikiran kita dapat mencatat keseharian, seperti perasaan jengkel, sedih, mengapa kita senang, dan yang dapat dipelajari pada hari itu. Dengan mencatat, diharapkan kita dapat menjadi manusia yang lebih baik pada kemudian hari.

  1. Belajar ikhlas

Ikhlas merupakan sesuatu yang sulit. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa dunia tidaklah berputar dengan kita sebagai porosnya.

Aurelius merenungkan luasnya alam semesta dan ketakterbatasan waktu sebagai pendekatan dalam menjalani kehidupan. Intinya, kita tidak bisa memaksakan segala keinginan dan harapan kepada alam semesta.

Dengan demikian, kita harus menerima kekecewaan dan segala penderitaan yang diberikan alam semesta agar hidup dapat lebih bahagia. Tentunya, hal ini mudah diucapkan daripada diterapkan, itu sebabnya bagi kita untuk terus berusaha agar hidup lebih baik di kemudian hari.

Masih banyak informasi filsafat dari Henry Manampiring, simak obrolan lengkapnya dalam siniar BEGINU bertajuk “Membuka Lembar Filosofi Teras” di Spotify.

Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap episode terbaru yang tayang pada Senin, Rabu, dan Jumat!

Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D Putri