Kondisi yang tidak menentu, bisnis yang berhenti, bahaya penularan yang mengintai setiap orang, sementara banyak dari kita yang memang masih harus keluar untuk memenuhi kebutuhan hidup sungguh menyesakkan dada.

Ada kecenderungan banyak dari kita diam menunggu dan pasrah saja. Kepasrahan ini memang sangat baik untuk kesehatan jiwa. Namun, kita juga perlu berpikir apa yang terjadi bila semua pasrah dan tidak bergerak? Mau sampai kapan kita berdiam menghadapi situasi yang belum tahu kapan berakhirnya ini.

Kita semua sudah merasakan bahwa ekonomi terhenti. Namun, kita juga belajar dari Flu Spanyol pada 1918, ketika terjadi kenaikan ekstrem data penderita ketika lockdown dilepas. Di sinilah kita kemudian bisa melihat pentingnya pengambil keputusan yang lincah mengganti gaya dan gerak serta kuat dalam menganalisis data, dibandingkan dengan birokrat yang berorientasi pada proses yang baku padahal menghadapi situasi yang penuh dinamika ini. Di sinilah kita merasakan kekuatan mindset yang agile untuk menanggulangi masalah yang begitu tak jelas dan sulit diprediksi ini.

Mindset agile vs birokrat

30 tahun yang lalu, kita belum mengenal bentuk organisasi selain piramida. Pengambilan keputusan diatur rapi dengan pembagian kewenangan yang jelas. Oleh karena itu, dapat dipastikan semakin tinggi pangkat seseorang, semakin beratlah tanggung jawab dalam mengambil keputusan.

Sering kali kita lupa bahwa pengambilan keputusan tidak selalu didasari cara pemecahan masalah berdasarkan pengalaman. Ada masalah baru, ada juga masalah yang jauh dari penguasaan si pejabat. Dengan adanya Covid-19 ini, kita bisa melihat betapa gaya pengambilan keputusan birokratis sangat tidak menguntungkan, lamban, dan tidak efektif. Pendataan, pelaporan, peraturan, dan keputusan dari atas sudah tidak bisa kita andalkan lagi dalam menghadapi musuh seperti virus ganas yang cepat bermutasi ini.

Sama seperti urgensi yang muncul agar kita bisa efektif bekerja dari rumah, para pengambil keputusan juga harus secara cepat mengembangkan the agile mindset yang berorientasi pada kebutuhan pasar berdasarkan keadaan masyarakat. Organisasi dengan agile mindset juga perlu percaya pada keputusan, inisiatif, dan eksekusi dari kelompok-kelompok kecil yang bekerja secara mandiri, tetapi jelas targetnya. Hal ini juga dimungkinkan dengan networking yang luas sehingga tidak berfokus pada orang yang itu-itu saja.

Organisasi dengan agile mindset juga perlu percaya pada keputusan, inisiatif, dan eksekusi dari kelompok-kelompok kecil yang bekerja secara mandiri, tetapi jelas targetnya.

Organisasi, institusi, atau bahkan negara yang ber-mindset agile biasanya terlihat dari inovasi, kemampuan menjangkau pasar, memberikan solusi melalui gerak kelompok-kelompok kecilnya, dan berkolaborasi dalam network yang cantik.

Dari sini, kita bisa menyaksikan bagaimana dalam menanggulangi Covid-19, negara dengan mindset agile-lah yang bisa mengambil langkah-langkah yang tepat bagi penduduknya. Kita melihat bagaimana Taiwan yang tidak mengambil kebijakan lockdown. Toko dan mal tetap dibuka, tetapi kontrol mengenai upaya menjaga diri dilakukan dengan cara dan penyebaran informasi yang intensif.

Apa itu “agile mindset

Dr Carol Dweck, psikolog dari Stanford University, menjabarkan konsep fixed mindset dan growth mindset dalam bukunya Mindset: The New Psychology of Success. Orang dengan fixed mindset akan mengatakan pada dirinya bahwa kecerdasan, kepribadian, dan karakter adalah warisan yang harus diterimanya saja. Sementara itu, mereka dengan growth mindset mengatakan, saya percaya bahwa sukses ditentukan oleh kerja keras, pembelajaran, pelatihan, dan kegigihan.

Inilah cikal bakal keyakinan bahwa kita perlu mengubah mindset kita. Fixed mindset akan membuat kita pasrah terhadap keadaan karena kita merasa tidak memiliki kontrol terhadapnya. Sementara dengan growth mindset, kita adalah penentu masa depan kita sendiri. No matter how intelligent you are, you can always get better; sometimes you can improve a lot. You can substitute any ability or talent for ‘‘Intelligence‘‘.

Fixed mindset akan membuat kita pasrah terhadap keadaan karena kita merasa tidak memiliki kontrol terhadapnya. Sementara dengan growth mindset, kita adalah penentu masa depan kita sendiri.

Agile mindset ini berbeda dengan doing agile atau being agile saja. Hal ini karena mindset akan menjadi landasan bagaimana individu kemudian bersikap terhadap segala rintangan yang dihadapinya. Dalam organisasi dengan agile mindset, seluruh tim akan melihat kegagalan sebagai sebuah kesempatan belajar. Motivasi tidak perlu didorong-dorong, tetapi datang dari rasa penasaran setiap individu dalam organisasi.

Perbedaan pendapat dan cara pikir yang berbeda disambut oleh seluruh anggota tim, bahkan dianggap sebagai fun at work. The agile mindset believes that we are ALL a work in progress. It continues to change and grow as we learn more about it. If we are lucky, this will never end because it will never be perfect.

Ciri organisasi ber-mindset agile

”Ever tried. Ever failed. No matter. Try Again. Fail again. Fail better,’ ujar Samuel Beckett. Ada beberapa hal yang sangat berbeda dengan organisasi berbentuk piramida yang cenderung menjunjung tinggi kemapanan.

Organisasi ini biasanya bergerak bagai melakukan sprint secara berkesinambungan. Tanpa istirahat. Bisa saja situasi ini berlangsung 2 minggu untuk kemudian mereka menganalisis hasil yang didapatkan, memperbaiki segala kekurangannya, dan kemudian melanjutkan dengan sprint lagi. Prioritas dibuat atas dasar nilai yang dijunjung tinggi perusahaan.

Organisasi dengan mindset agility ini, biasanya tidak takut pada perubahan. Sebab perubahan adalah makanan mereka sehari-hari. Hanya saja, ada kebiasaan untuk melihat masa depan dan menghitung ke belakang. Oleh karena itu, setiap individunya sudah terbiasa membuat ancang-ancang.

Hal yang juga signifikan berbeda pada organisasi ini adalah bahwa setiap individu biasa menghitung return in time invested (ROTI)-nya sendiri. Mereka akan memberi angka pada penggunaan waktu kerjanya di akhir hari. Angka 1 untuk yang merasa menyia-nyiakan waktu, dan angka 5 untuk yang merasa produktif. Dengan banyaknya ketidakjelasan tentang masa depan ini, kita memang perlu berpikir baik-baik bagaimana berubah menjadi agile.

Eileen Rachman & Emilia Jakob

EXPERD

CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 16 Mei 2020.