Setiap anak pasti memiliki momen ketika mereka merasa tak lebih baik daripada teman sebayanya. Peristiwa ini kita kenal dengan rasa tidak percaya diri.

Meskipun begitu, kemunculan perasaan ini sangat wajar terjadi di usia anak-anak. Pada masa ini, mereka memang diharuskan untuk mengeksplorasi berbagai macam hal. Dari situ, mereka jadi mengetahui hal mana yang disukai dan tidak.

Untuk itu, sebagai orangtua, kita juga harus memiliki penanganan yang tepat apabila anak memiliki kondisi serupa. Sebab, jika tak tepat, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang berkepribadian buruk.

Melalui siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Mengelola Rasa Insecurity atau Rasa Tidak Percaya Diri pada Anak” Henry Manampiring, Penulis Filosofi Teras, mengungkapkan bagaimana caranya mendidik anak.

Beragam usaha ia lakukan agar anak tak memiliki rasa percaya diri yang rendah. Ia mengaku bahkan sampai memisahkan pola asuh orangtuanya dengan anaknya kini.

Hal ini dilakukan karena menurut Kristin Batcheck, MA, LPCC, seorang konselor dari Ohio, inferiority bisa menyebabkan kepercayaan diri anak rendah. Mereka bahkan bisa meragukan kemampuan sendiri.

Ketika ini terjadi, anak dapat terjebak dalam perasaan rendah diri sehingga sulit untuk mencapai tujuan. Bahkan, ia kerap membandingkan diri dengan orang lain.

Untuk itu, agar bisa mengatasinya, ada beberapa poin mengenai gaya pengasuhan yang kerap Henry lakukan.

Menunjukkan afeksi

Henry mengaku gaya pengasuhan kepada anaknya sangat berbeda dengan masanya dulu. Menurutnya, pola asuh orangtua zaman dulu jarang menunjukkan afeksi dan kasih sayang. 

“Orangtua zaman dulu itu kaku, ya, kurang bisa mengekspresikan kasih sayang,” jelasnya.

Namun, seiring perkembangan zaman, pola asuh tentu juga memiliki perbedaan. Kini, banyak orangtua yang tak malu untuk menunjukkan rasa kasih sayang.

Hal ini dilakukan agar anak merasa dilindungi oleh para orangtua. Selain itu, anak juga akan lebih mudah mengungkapkan perasaan dan emosinya.

Manfaatnya pun banyak, anak, khususnya laki-laki, jadi tak terkekang dalam pandangan toxic masculinity.

Tegas menegur anak

Meskipun begitu, memberikan afeksi bukan berarti memanjakan anak. Orangtua juga harus memiliki batasan perihal apa yang boleh dilakukan dan tidak.

Gak semua hal bisa dibiarkan dengan “namanya juga anak-anak”. Pokoknya kalo sudah mengganggu orang lain, itu gak bisa. Karena ini bukan anak monyet, tapi anak manusia.”

Usaha ini diperlukan agar anak memiliki sikap yang baik hingga ia tumbuh dewasa nanti. Jadi, sebisa mungkin setiap larangan diberikan alasan logis yang bisa diterima anak.

Saat anak bertanya mengapa ia tak boleh berteriak, kita bisa menjelaskan alasan bahwa itu dapat mengganggu orang banyak.

Tak membiarkan anak mengonsumsi makanan terlalu manis

Seperti yang kita tahu, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Begitu pula mengonsumsi makanan atau minuman yang terlalu manis.

Hal inilah yang digunakan Henry untuk mengasuh anaknya, yaitu mengurangi konsumsi olahan manis. Makanan atau minuman yang terlalu manis bisa berbahaya untuk kesehatan anak jangka panjang.

Menerapkan growth mindset

Selanjutnya adalah mendorong rasa percaya diri anak dengan menerapkan growth mindset. Menurut Henry, daripada senang dengan hasilnya, lebih baik kita memuji usahanya.

“Lebih baik memuji dia untuk upayanya, daripada memuji dia dengan kata yang definitif.”

Jika hanya melihat hasil, dikhawatirkan akan muncul fixed mindset pada anak. Akhirnya, pola pikir itu membuatnya tertekan karena harus selalu berorientasi pada hasil. Padahal, dalam hidup pasti akan selalu ada tantangan.

Apabila anak takut untuk memulai sesuatu, kita bisa mengingatkan pengalaman yang pernah ia lakukan. “Coba dapatkan satu pengalaman yang dia dulu gak bisa, sekarang bisa,” jelas Henry.

Tak memaksakan hobi dan ambisi

Terakhir adalah jangan memaksakan hobi dan ambisi orangtua kepada anak. Menurut Henry, tak apa-apa jika anak sesekali mencoba. 

Akan tetapi, kalau ternyata terus-terusan gagal, artinya bakat itu bukan miliknya. Untuk itu, biarkan anak mengeksplor apa yang ia sukai, “Biarin dia eksplor, biar tahu bagian mana yang lemah dan kuat.”

Henry pun mengungkapkan bahwa orangtua, “Harus mawas diri untuk memaksa anak jadi sosok yang kita mau. Ada hal-hal yang sifatnya esensial dan gak boleh ditawar, misalnya value kejujuran, sopan santun.”

“Tapi ada hal-hal yang menurut saya pembentukan dari identitas dia, tapi jangan baper kalo dia gak bisa sampe hal itu. Harus pahami bahwa dia akan tumbuh menjadi manusia yang berbeda dari kita,” sambungnya.

Simak perbincangan seputar mengelola rasa tidak percaya diri pada anak bersama Henry Manampiring dalam siniar Anyaman Jiwa di Spotify.

Ikuti juga siniarnya agar kalian terinfo tiap ada episode terbaru!

 

Penulis: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata