Namun, apakah keberanian hanya milik segelintir orang yang melawan kejahatan, yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terbayangkan oleh kita sehari-hari?
Dalam konteks yang paling mendasar, keberanian dapat digambarkan sebagai nyali untuk melakukan sesuatu yang dibutuhkan pada saat itu meskipun berisiko bagi diri sendiri. Namun, dalam pekerjaan sehari-hari, kita tentunya jarang punya kesempatan untuk menyelamatkan orang yang dalam bahaya atau tindakan lain yang dapat membuat kita menjadi viral.
Meski demikian, keberanian adalah salah satu kualitas yang dapat membedakan kepemimpinan seseorang. Keberanian untuk mengambil keputusan dalam situasi yang dilematis dan tidak jelas, keberanian mengemukakan pendapat yang tidak popular menentang keinginan pimpinan, keberanian berbicara dari mata ke mata kepada anak buah yang bermasalah adalah hal-hal yang dapat kita jumpai dalam pekerjaan sehari-hari.
Itu tidak jarang kita abaikan karena enggan menerima konsekuensi ketidaknyamanannya. “Courage must also be expressed every day, at every level in the business world. In fact, it is not enough to simply follow orders from management.”
Dalam pekerjaan sehari-hari, kita memiliki berbagai kesempatan untuk berlatih menampilkan keberanian.
Pertama, apakah kita berani menghadapi permasalahan dengan terbuka? Seberapa sering kita mengalihkan pandangan ketika ada permasalahan dan justru berharap orang lain yang menemukan dan mengangkat hal tersebut?
Tanpa kita sadari, sering kali ada “pengecut kecil” dalam diri yang diselimuti oleh rasionalitas yang mendorong kita untuk menunda masalah. Don’t kill the messanger, pepatah yang muncul karena sering kali pencetus berita buruk alih-alih mendapatkan penghargaan malah bisa menjadi tertuduh ataupun yang dimintai pertanggungjawaban.
Kondisi ini membuat banyak orang kemudian menutup mata pada ketidakbenaran yang terjadi di sekeliling kita. Padahal, ini berarti kita juga mendukung kesalahan itu terjadi. Keberanian sejati tidak hanya berhenti sampai mengenali masalah, tetapi juga berani menyuarakannya secara terbuka meski kita menyadari adanya risiko yang harus ditanggung.
Bentuk keberanian kedua mencakup pengambilan risiko untuk melakukan delegasi dengan mempercayai orang lain. Mempercayai berarti mengambil risiko menanggung kesalahan yang dilakukan orang lain. Delegasi yang efektif berarti sedikit demi sedikit melepaskan sebagian kendali terhadap hasil dengan mengandalkan keterampilan dan keahlian orang lain. Ini adalah cara membangun lingkungan kolaboratif yang merupakan kunci keberhasilan organisasi.
Keberanian yang ketiga adalah dalam hal pengambilan keputusan. Dalam masa yang serba cepat, ambigu, dan berubah-ubah, kita tidak bisa menunggu hingga semua menjadi jelas sebelum mengambil keputusan. Kita membutuhkan mereka yang memiliki inisiatif dan memiliki stamina mental menghadapi tekanan.
Selain itu, pemimpin perlu mengalahkan dirinya sendiri dengan keluar dari rasa nyaman atas kondisi yang sudah dicapainya saat ini dan terus mencari target yang lebih besar untuk mendorong kemajuan tim. Pemimpin harus berani melihat masa depan dan ingat bahwa dirinyalah yang menentukan arah ke masa depan. “Top-performing teams are those that dare to move outside the comfort of what they know, and push the limits.”
Baca juga: Konsistensi dalam Gelombang Perubahan
Terakhir, dalam perannya di organisasi, pemimpin juga perlu memiliki keberanian untuk menegakkan aturan, standar kualitas yang sudah ditetapkan. Pemimpin harus berani menjadi tidak popular untuk berlaku secara adil, baik terhadap individu maupun organisasi. Hal ini tidaklah mudah karena sering kali dampak dari penegakkan aturan dan standar ini tidak akan terasa dalam jangka pendek.
Pimpinan yang berani akan menelaah dan memahami kondisi diri, tim, dan organisasi secara obyektif, berani mengatakan kebenaran yang sulit didengar oleh orang lain, terbuka terhadap kritik yang diterima, serta senantiasa menantang diri untuk terus mencari pendekatan baru yang dapat membuat pekerjaan menjadi lebih baik, lebih mudah, dan lebih efisien.
Membangun keberanian sebagai pemimpin
Untuk berlatih mengasah keberanian, ada tiga area perilaku yang dapat kita praktikkan.
Pertama, keterbukaan terhadap perbedaan. Kita perlu meyakini bahwa keberbedaan adalah hal yang positif. Memiliki pendapat yang berbeda, gaya yang berbeda, kebutuhan yang berbeda adalah hal yang normal dan justru akan memperkaya cakrawala kita.
Mulailah dengan belajar meminta pendapat dan ide dari orang lain, termasuk bawahan kita, siapa tahu ada hal yang terlewatkan dari pertimbangan kita. Bagaimana keputusan mereka bila mereka berada di posisi kita. Selain membawa suasana inklusif dan inovatif, kita pun belajar untuk berani berpendapat berbeda di forum terbuka.
Setelah meyakini perbedaan itu baik dan mendorong semua pihak untuk berani berpendapat, kita perlu memperdalamnya dengan keberanian untuk berargumentasi. Bagaimana kita belajar mendengar sambil memengaruhi orang lain, bahkan kalau perlu mengubah pendapat bilamana ternyata ada fakta baru yang lebih kuat berdasarkan diskusi tersebut.
Keberanian tingkat yang lebih tinggi lagi adalah ketika kita sudah memiliki kebiasaan untuk meminta umpan balik dari orang di sekitar kita, bersiap ditunjukkan kesalahan keputusan ataupun perilaku yang kita lakukan pada masa lampau dan kesediaan untuk memperbaikinya. Hal ini menunjukkan keberanian untuk memberikan komitmen terhadap pertumbuhan pribadi dan organisasi.
Pada akhirnya, sebagai pemimpin, kita bertanggung jawab tidak hanya membangun keberanian diri, tetapi juga membangun dan menularkan budaya berani di organisasi.
“Ukuran utama dari seorang pria bukanlah di mana dia berdiri pada saat-saat nyaman dan mudah, melainkan di mana dia berdiri pada saat-saat penuh tantangan dan kontroversi.”
–Martin Luther King
HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD
EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.