Kata “takjil” sendiri diserap dari bahasa Arab. Takjil diambil dari kata ‘ajjala dalam bahasa Arab yang berarti menyegerakan atau dalam arti lebih luas adalah perintah menyegerakan untuk berbuka puasa.
Anjuran untuk menyegerakan untuk berbuka saat waktunya tiba memang sangat dianjurkan dalam Islam. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti yang tertulis dalam hadis.
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berbuka puasa dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab, dengan tamr (kurma matang), jika tidak ada tamr, beliau meneguk beberapa teguk air.” (HR Abu Daud)
Pengembangan makna dari yang seharusnya ini bisa jadi karena berbuka puasa identik dengan makanannya. Sering kali kita mengatakan, “Ayo, mencari makanan untuk takjil.” Agar lebih mudah dan pendek, dikatakan menjadi “Ayo, cari takjil”.
Namun, ada versi lain yang menyebutkan bahwa penempatan kata takjil sebagai menu buka puasa bermula dari proses penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Kala itu, para wali saat berdakwa kerap memasak kolak kemudian berkembang dengan berbagai bahan tambahan. Menu ini menjadi menu takjil. Kebiasaan ini kemudian berakar lama di masyarakat, kemudian menjadi penyebutan untuk makanan manis untuk berbuka puasa.
Baca juga :
- Infografik: 5 Takjil Berbuka Puasa yang Nikmat dan Sehat
- Berbuka Puasa dengan Lumernya Pisang Cokelat
Takjil dalam bahasa Indonesia
Mengutip dari tulisan pengamat bahasa Holy Adib di tulisannya pada 2019 pada sebuah situs berita, takjil berasa dari kata ‘ajjala yang artinya menyegerakan dan mempunyai turunan kata ta’jiil yang berarti penyegeraan dalam hal berbuka puasa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V (Badan Bahasa, 2016), takjil diartikan sebagai kata kerja menyegerakan dan dalam kata benda konkret berarti makanan untuk berbuka puasa.
Takjil dengan arti menyegerakan berbuka puasa pertama kali tampil pada KBBI edisi kesatu sebagai istilah dalam bahasa Islam. Namun, karena diserap oleh orang Indonesia sebagai “makanan” maka, KBBI IV mencatat makna ini kata benda.
Holy memberikan contoh lainnya, seperti kamus Loan-Words in Indonesian and Malay (Obor,2008). Di situ takjil memiliki arti “food such as dates used to break the fast”. Namun, kamus ini juga mencatat takjil dengan arti hastening/menyegerakan.
Takjil juga diartikan perbukaan dalam bahasa Indonesia. Ternyata juga dicatat oleh empat kamus yang berbeda, yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1952) susunan WJS Poerwadarminta, Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Grafica, diperkirakan 1950-an) oleh M Zain, KBBI Edisi Kesatu, dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Pustaka Sinar Harapan, 1994) oleh Badudu-Zain.
Baca juga :
Dalam kamus Poerwadarminta, perbukaan punya arti hal berbuka (puasa) dan makanan untuk berbuka puasa. Makna makanan ini ada juga di tiga kamus lainnya. Sebenarnya, kita akrab dengan kata perbukaan, hanya saja yang terdengar dalam bahasa sehari-hari adalah bukaan.
Holy Adib dalam tulisannya juga menjelaskan, kata perbukaan yang berasal dari kata dasar buka ini diserap juga oleh bahasa daerah. Kata itu antara lain, pabukoan (bahasa Minang), pappabuka (bahasa Bugis), appabuka (bahasa Makassar), pebukoan (bahasa Lampung), bhukaan (bahasa Madura), dan parbuko (Mandailing). Sekarang, kata ini mungkin bersaing dengan takjil sebagai makanan berbuka puasa.
Sayangnya, takjil dengan arti perbukaan, tidak dicatat dalam KBBI edisi kedua sampai kelima. Bisa jadi, mayoritas masyarakat Indonesia memilih takjil dengan arti makanan untuk berbuka puasa. Maka, KBBI pun mencatatnya seperti itu.
Pergeseran atau perkembangan makna kata serapan adalah hal biasa. Sebab, pada akhirnya, bahasa adalah kesepakatan dan digunakan oleh banyak orang. Jadi, kalau pada akhirnya arti kata takjil adalah makanan untuk berbuka puasa, itu tidaklah salah. Karena kata serapan bisa saja diserap katanya saja tanpa artinya.