Pesawat yang menerbangkan saya dari Jakarta mendarat di Pangkalan Udara El Tari, Kupang, tepat pukul 12.30 Wita. Kira-kira setahun lalu sebelum pandemi. Begitu turun dari kabin pesawat Airbus 320 itu, sinar matahari langsung mematuki seluruh kulit. Beberapa penumpang lain tampak berlarian kecil menuju terminal kedatangan, menghindari sengatan matahari yang kian garang.

Di beranda terminal kedatangan, seorang teman yang bertugas sebagai wartawan, sudah datang menjemput. “Pesawat dari Jakarta ke Kupang selalu penuh, jangan heran jika di dalam (terminal kedatangan) tadi tampak sumpek,” katanya.

Teman saya benar, sebab menurut petugas check in di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Banten, antrean pelaporan penumpang tujuan Kupang memang relatif panjang. Ini disebabkan selain jumlah penumpang yang biasanya penuh, proses menimbang barang yang akan dibawa juga memakan waktu.

Banyak dari penumpang tersebut memiliki toko kelontong dan berbelanja barang yang akan dijual di Kupang dari pusat-pusat grosir di Jakarta. Akibatnya sebagian besar dari mereka harus membayar biaya kelebihan bagasi.

Sebelum mengantar saya ke hotel tempat menginap, teman tadi mengajak saya mencicipi kuliner khas Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu sei. Kami pun meluncur ke sebuah rumah makan yang menyuguhkan sei sapi. Rumah makan ini terletak di daerah Oebufu.

Teman saya lantas memesan dua porsi sei sapi. Katanya, kami beruntung, sebab biasanya bila waktu sudah di atas pukul 1 siang, sei di warung ini sudah ludes. Tak perlu lama menunggu, pelayan di warung itu menyajikan pesanan kami. Sepiring nasi dan sei yang sudah dipotong-potong, ditambah sambal khas Timor.

“Sei itu sebenarnya istilah dari Rote. Artinya daging yang diiris memanjang kemudian diasapi sampai matang. Singkatnya daging asap,” jelas teman saya.

Masih menurut teman tadi, sei mulai menyapa lidah masyarakat di sana sejak 1986. Seiring bertambahnya jumlah pendatang di Kupang, makanan ini mulai dikenal oleh masyarakat di luar NTT. Termasuk tamu-tamu dari luar negeri.

Kayu kosambi

Pemilik warung yang saya temui mau berbagi kisah. Kata dia, kegiatan dapur warungnya sudah dimulai pada pukul 05.00, yakni memotong-motong daging.

Setelah dipotong, daging lantas diiris memanjang kira-kira 20 sentimeter. Setelah itu diberi bumbu dan selang satu jam daging mulai diasap. “Bumbu ini khas warung kami. Mungkin di tempat lain bumbunya bisa sama, tapi cara memasak dan rasanya tentu beda,” imbuh Roy, karyawan pemilik warung.

Bara untuk mengasap daging ini yang konon membuat rasa daging sei menjadi khas. Baranya berasal dari kayu pohon kosambi (Schleichera oleasa, Merr). Kosambi tergolong kayu keras.

Sekitar pukul 08.30 Wita, warung telah siap menerima tamu. Selama warung ini buka, karyawan terus mengasapi daging sapi agar tamu yang datang lebih siang dapat segera menikmati sei. Letak tungku untuk mengasap ada di depan warungnya, sehingga tamu dapat pula melihat proses pengasapannya.

Selain tekstur dagingnya yang kesat, rasa sei sapi di warung ini perpaduan manis dan gurih. Rasa itu, kata Roy, berasal dari madu Timor yang dicampurkan ke bumbu utamanya. Banyak turis mampir di warung ini terlebih dulu untuk membeli beberapa kilogram sei sapi sebagai oleh-oleh.

“Setelah diasap daging ini bisa tahan sampai malam hari, apalagi dibawa naik pesawat. Orang Jakarta atau Surabaya banyak yang beli untuk oleh-oleh,” lanjut Roy.

Harga ½ kilogram sei sapi di Kupang rata-rata Rp 120 ribu. Bila dibawa sebagai oleh-oleh, sesampai di rumah kita cukup memanaskannya dalam oven. Rasa gurih dan aroma kayu bakarnya tetap terasa.

Sekarang, tanpa perlu pergi jauh ke Kupang, kita bisa menikmati sei sapi dengan mudah. Selain di rumah makan, sei sapi juga banyak dijajakan melalui toko daring.

Sei sapi bisa menjadi pilihan menu lezat untuk berbuka puasa. Di samping bergizi, pengalaman kita akan kekhasan kuliner Nusantara juga bertambah.

Jangan lupa, nikmati sei sapi bersama nasi panas ditemani sambal bawang, sambal ijo, dan cah kangkung. Uuenakk poll…!