Tangannya bergerak membakar lintingan tembakau setelah sang surya kembali ke peraduannya. Zulfendi, pria paruh baya ini merupakan salah satu penjaga sekaligus masih keturunan pengelola Pulau Kiluan, Lampung. Pria yang mengaku sehari-hari bermata pencaharian pedagang ini mulai bercerita mengenai asal nama Kiluan.

“Kiluan, bagi orang Lampung itu punya arti permintaan. Ya, karena di pulau ini ada seorang bernama Raden Arya, dulunya pendekar sakti yang datang dari Banten memohon untuk dimakamkan di pulau ini,” ujarnya.

Makam Raden Arya ini, menurutnya, sampai sekarang masih terus dirawat, dibersihkan. Sama seperti pulau ini, pulau yang secara turun-temurun dijaga oleh keluarga besarnya. Bukan hanya menjaga kebersihan dan kenyamanan agar wisatawan terus datang, tetapi juga keamanan serta keberlangsungan habitat binatang di situ.

“Kalau ada yang ngebom ikan di dekat Kiluan, pasti kita kejar. Ya, kejar pake jukung masyarakat sini. Beberapa kali tertangkap kok. Biasanya, bukan dari masyarakat yang tinggal di Kiluan, tapi dari pulau seberang,” ucap bapak dua anak ini.

Kiluan itu menyenangkan dan tempat yang tepat untuk mencari ketenangan. Oleh karena itu, Zulfendi berharap agar jangan ada yang mengganggu ketenangan di tempat tersebut. “Saya kembali lagi ke sini setelah mencoba merantau ke Jakarta. Tahun 2008, saya kembali ke sini,” tukasnya.

Suasana damai ini juga yang membuat Abas, seorang kakek yang masih memiliki hubungan saudara dengan pengelola pulau ini, Dirham, bertahan untuk tinggal. Keadaan serbakekurangan di Kiluan tidak membuat Abas menjadi pengeluh.

Abas yang sehari-hari hanya bekerja mengantar wisatawan untuk melihat lumba-lumba dan menyeberang dengan jukung mengaku lebih senang tinggal di sini. “Ya, saya juga punya penginapan di sini. Tapi, pekerjaan sehari-hari yang jadi supir jukung, mengantar mereka yang ingin menikmati Kiluan,” ujarnya.

Kendati hanya mengoperasikan jukung, Abas berhasil membuat ketiga orang anaknya menjadi “seseorang”. Ada yang bekerja di perusahaan luar negeri, masuk sebagai pegawai negeri sipil, dan sebagai karyawan swasta di Makassar.

“Di Kiluan itu berbagai suku dan agama tinggal. Namun, tidak pernah ada yang berantem. Semuanya rukun. Kita sih berusaha menjaga itu karena di sini kan daerah wisata. Kalau tidak kondusif, nanti turisnya lari semua. Terus, nasib kita bagaimana? Makanya, kita saling menjaga Kiluan agar tetap aman dan nyaman,” pungkas Abas. [VTO]

Foto dokumen wisatatelukkiluan.com

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 24 Oktober 2013