Sebelum era 1980, Umbul Jumprit di Temanggung, Jawa Tengah, hanya diketahui kalangan tertentu. Mata air yang dilingkupi hutan rimbun dan sejuk ini baru ramai dikunjungi wisatawan setalah tahun 1980. Pada 1987, Pemerintah Kabupaten Temanggung menetapkan Jumprit sebagai kawasan wanawisata atau tempat wisata dengan tujuan utama hutan.

Umbul Jumprit tak terlepas dari kemashyuran Kerajaan Majapahit beberapa abad silam yang sisa-sisa arsitekturnya masih dikenang hingga sekarang. Berdasarkan Kitab Nagarakretagama, kerajaan yang lahir pada akhir abad ke-13 tersebut, memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas, meliputi Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Sulawesi, Maluku, Papua, hingga kepulauan di Filipina. Kejayaan ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389) dengan bantuan Mahapatih Gajah Mada.

Saking luasnya wilayah kekuasaan Majapahit, situs-situs kerajaan Hindu-Buddha terbesar yang pernah ada di Nusantara inipun tersebar di setiap penjuru dan memengaruhi perkembangan era selanjutnya.

Umbul Jumprit menjadi salah satu situs peninggalan era Majapahit yang di dalamnya terdapat petilasan dan makam Ki Jumprit yang dikenal sebagai ahli nujum pada zaman Majapahit. Situs ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan religi.

Jumprit terletak di lereng Gunung Sindoro, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, sekitar 26 kilometer dari Kota Temanggung. Terletak di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, kawasan tersebut selalu diselimuti udara sejuk menyegarkan. Cuaca yang suram bertabir kabut pun sudah menjadi hal biasa, mengentalkan kesan mistik situs ini.

Dari jalan masuk utama yang diapit gapura setinggi 2,5 meter, pengunjung akan melewati lagi pintu masuk kedua yang terbuat dari susunan batu hitam vulkanik berarsitektur candi Hindu. Di bagian atasnya berukir wajah Kala, raksasa sakti yang dipercaya dapat mengalahkan semua dewa. Arca prajurit berdiri dengan gagah di sisi kiri mukanya.

Berjalan lebih jauh lagi, pengunjung akan disambut oleh arca Resi Gupala yang terletak di antara persimpangan jalan, ke kiri mengarah ke kolam atau mata air Jumprit; dan ke kanan, menuruni tangga, ke arah makam Ki Jumprit. Kawanan kera akan mulai meningkahi para pengunjung di sekitar jalan setapak menuju mata air dan di atap makam. Namun, mereka jinak dan tidak mengganggu.

Umbul Jumprit merupakan mata air utama yang mengaliri Kali Progo. Di petilasan tersebut, air dari mata air ditampung di dalam kolam, dan selebihnya dialirkan langsung ke Kali Progo. Air yang ditampung itu digunakan untuk keperluan tirakat bagi pengunjung dengan berendam di dalamnya. Dipercaya, air tersebut kaya akan berkah dan keberuntungan.

Setiap tahun, terutama tiga hari sebelum memasuki puncak perayaan Waisak, para biksu dari sembilan aliran agama Buddha akan bersama-sama ke Umbul Jumprit. Di sana, mereka akan berdoa dan mengambil air berkah dari mata air sebagai permulaan dari prosesi upacara Waisak.

Air ini digunakan untuk memerciki umat di Candi Borobudur. Salah satu pengelola Umbul Jumprit mengatakan, memasuki perayaan Waisak, kolam akan dibersihkan dan satu minggu sebelumnya pengunjung dilarang masuk ke kolam.

Di sudut terjauh kolam, berbatasan langsung dengan dinding bukit, terdapat suatu ceruk kecil atau gua dengan luas sekitar 4 meter persegi. Untuk mencapainya harus menyeberangi lintasan kecil di atas kolam. Menurut pengelola, gua yang di dalamnya terdapat dua arca tersebut dulunya digunakan oleh Ki Jumprit sebagai tempat meditasi. Bahkan, sampai sekarang, banyak juga pengunjung yang memanfaatkan tempat tersebut untuk melakukan ritual tapa.

Salah satu pengunjung asal Yogyakarta, Andi (42) bercerita, ia menggunakan tempat ini hanya sebagai sarana dalam bermeditasi, terutama pada malam hari bersama beberapa teman. “Suasananya tenang, udaranya sejuk dan alami. Dulu, saya dan teman-teman biasanya berendam dalam dinginnya air di kolam Umbul Jumprit sambil bermeditasi, tapi sekarang saya lebih cenderung untuk menikmati suasana saja,” ujarnya.

Tempat ini buka 24 jam bagi semua pengunjung tanpa terkecuali. Tidak ada larangan atau syarat khusus. Pengunjung pun dipersilakan membawa perlengkapan meditasi seperti dupa, lilin, atau bunga. Selama laku tirakat di sini, setiap peziarah diminta tetap menjaga keheningan agar tidak menganggu pengunjung lain.

Keturunan Ki Dipo

Tak banyak catatan terperinci tentang keberadaan mata air ini, walau Jumprit sempat disebut dalam Serat Centhini, karya sastra berbentuk tembang yang ditulis di awal abad ke-18 oleh para pujangga Keraton Surakarta. Isinya tentang ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa.

Di tengah masyarakat Temanggung sendiri, ada banyak cerita rakyat yang beredar, Salah satunya menyebutkan bahwa Ki Jumprit merupakan salah seorang putra Raja Majapahit.

Keterangan lain yang dirangkum dari beberapa sumber mengungkapkan bahwa Ki Jumprit adalah Pangeran Singonegoro yang setelah bertapa di tempat itu selama 40 hari lalu menjadi seorang resi dan memberkati air sendang (Umbul Jumprit) sehingga memiliki berbagai khasiat.

Hewan kesayangannya, kera putih bernama Ki Dipo, tetap tinggal dan menjaga situs tersebut. Dipercaya, kera-kera yang sekarang terdapat di sana merupakan keturunan Ki Dipo yang akan terus menjaga situs Ki Jumprit.

Obyek wisata andalan Kabupaten Temanggung ini memang masih sekadar menarik minat wisatawan ritual saja. Hal itu dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang datang. Pengelola mengatakan, di luar hari-hari raya tertentu, biasanya tempat ini ramai dikunjungi hanya pada malam Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, dan Sabtu Pahing. Ini adalah hari dianggap keramat dalam budaya Jawa.

Sebagai bagian dalam wanawisata Jumprit, pengunjung tidak hanya dapat berziarah ke makam Ki Jumprit saja, tapi juga menikmati pemandangan Kota Temanggung dari ketinggian lereng Sindoro. Hamparan kebun tembakau dan hutan pinus siap menyambut dan membuat pengunjung terkesan.

Baca juga: Menikmati Wisata Candi di Jawa Tengah