Pasangan Arthur (Nick Blood) dan Claire (Emily Wiseman) tiba di Brooklyn, New York, tempat kediaman ayah Arthur, Saul (Allan Corduner). Sekian lama Arthur meninggalkan ayahnya yang masih hidup di tengah komunitas Yahudi ortodoks. Kali ini, ia datang bersama isterinya yang sedang mengandung.
Saul mengelola rumah duka yang mengurus jenazah sebelum dimakamkan. Tak lama berselang, mereka kedatangan jenazah Yosille (Anton Trendafilov) yang ditemukan meninggal tak wajar dan diduga bunuh diri.
Di dadanya tertancap sebilah belati. Selain itu, ada juga kalung jimat yang tak sengaja terjatuh ketika Arthur membantu menangani jasad tersebut. Tanpa diketahuinya, kalung itu menjadi pembuka bagi munculnya hantu yang mengerikan.
Sejak itu, bermunculan teror yang menghantui Arthur dan seisi rumahnya. Bagaimana mereka dapat lolos dari teror sang hantu pengambil anak?
Unik
Latar belakang budaya dapat menjadi daya tarik yang memberi keunikan bagi sebuah kisah horor. Menarik menyimak keyakinan tiap-tiap budaya atas hal-hal yang supranatural dan mengerikan.
Dalam The Offering, latar belakang budaya tersebut menjadi akar konflik yang membuat Arthur lari dari ayahnya. Ketika apa yang diyakini tidak dapat memberi solusi, Arthur memilih untuk keluar dari rumah dan pergi.
Namun, untuk dapat menghadapi masalahnya, mau tidak mau ia harus kembali kepada hal-hal yang semula diyakini.
Nyaris tidak ada hal yang baru ditawarkan oleh The Offering. Kisahnya relatif mudah ditebak dan seperti kebanyakan film horor terkini menggunakan jump scare untuk menakut-nakuti penonton.
Pemanfaatan budaya sebagai elemen pembeda cukup berhasil untuk menghadirkan sesuatu yang baru. Setidaknya, penonton disuguhi penampilan para karakter berikut pernak-pernaik serta ritual yang jarang terlihat.
Hal itu langsung ketika film dimulai dengan adegan Yosille digambarkan sedang menjalankan sebuah ritual yang berujung pada tewasnya dirinya oleh sebuah kekuatan supranatural.
Hanya saja, sosok hantu atau monster yang ditampilkan boleh jadi dipersepsi berbeda. Dalam pengantar pada awal film, disebutkan bahwa sosok supranatural tersebut adalah hantu perempuan yang mengerikan, yang menjadi mitos di seputar kawasan Timur Dekat dan Eropa. Ia dikenal sebagai “pengambil anak”.
Dalam mitologi lokal, barangkali kita mengenal sosok kuntilanak, yang konon berasal dari perempuan hamil yang meninggal. Ia digambarkan mengenakan jubah putih dan berambut panjang, dengan suara cekikikan yang mengerikan.
Sosok hantu pada The Offering jauh berbeda. Sosok yang tidak familier dan menggunakan simbol-simbol asing boleh jadi bagi sebagian penonton malah membuat jadi tidak menakutkan.
Datar
Di luar tamasya visual yang cukup menggugah, akting dan cerita yang ditawarkan terasa datar saja. Sosok Arthur yang penuh konflik terasa kurang kuat. Begitu pula isterinya Claire yang kurang mendapat porsi dalam cerita.
Justru yang lebih menarik perhatian adalah sosok sang ayah, Paul, yang terlihat benar sebagai orang tua yang kehilangan dan merindukan anaknya. Ia bahkan rela memenuhi keinginan anaknya, meski ditentang oleh rekan-rekannya.
Sebagai tontonan horor, The Offering boleh jadi tak lebih film horor lainnya. Hanya saja dengan latar belakang budaya yang berbeda. Meski demikian, film ini tetap menarik dan menyenangkan untuk disimak, terutama bagi para penggemar horor sejati.
Review overview
Summary
6Kisah tentang hantu pengambil anak yang menghadirkan teror di sebuah rumah duka bagi pasangan muda yang menantikan bayi.