Seperti kala jatuh cinta, pandangan mengawali perkenalan. Mata kami, para pelancong dari Jakarta, pertama kali bertemu dengan Canton Tower pada pertengahan Juni. Di atas kapal yang sedang menyusuri Pearl River yang tenang. Dikitari pendar lampu kota yang terpantul di permukaan air.

Sepoi angin memainkan rambut kami, yang sedang berupaya menangkap pesona Canton Tower dengan bidikan kamera. Satu atau dua jepret jelas tak cukup. Dalam hitungan detik, warna cahaya yang terpancar dari menara jangkung nan ramping itu—yang belakangan kami ketahui tingginya 600 meter—berubah-ubah. Permainan yang manis. Semarak cahaya gedung-gedung di sekitarnya jelas tak mampu mengimbangi pikat menara paling tinggi itu.

“Belum berkunjung ke Canton Tower?” tanya seorang turis dari Malaysia, yang barangkali melihat betapa bersemangatnya kami mengagumi bangunan itu. Kami, yang bahkan baru pertama kali bertandang ke China, menggeleng. “Ah, itu tempat wajib kamu datangi. Kata orang sini, belum ke Guangzhou kalau belum ke Canton Tower,” lanjutnya.

Gedung “berpinggang kecil”

Perjumpaan langsung itu terwujud dua hari kemudian. Kami sampai juga di Canton Tower, yang kini menjadi salah satu bangunan terpenting sekaligus ikon Guangzhou. Canton Tower adalah menara televisi tertinggi di dunia, melewati CN Tower di Toronto yang tingginya 553 meter.

Pada siang hari, gedung itu tampak sama sekali berbeda. Kontras dengan penampakannya yang megah dengan kerlap cahaya pada malam hari, kali ini Canton Tower yang bercat putih dengan kaca-kaca transparan terlihat bersahaja.

0708-LANGGAM-CANTON_2
0708-LANGGAM-CANTON_1
0708-LANGGAM-CANTON_3

Struktur bangunan dengan kisi terbuka ini sekarang lebih jelas. Mark Hemel dan Barbara Kuit, arsitek Canton Tower dari Information Based Architecture (IBA) di Amsterdam, mengatakan, ide bangunan ini sederhana. Rupa, volume, dan strukturnya dibentuk dua elips. Satu di level fondasi, yang lain di sisi horizontal pada ketinggian 450 meter.

Kedua elips ini lantas diputar berlawanan satu sama lain. Penegangan yang disebabkan rotasi antara kedua elips ini menimbulkan pemadatan material dan membentuk “pinggang”. Oleh warga lokal, bangunan ini kerap disebut sebagai gedung “berlingkar pinggang kecil”.

Dalam situs IBA, Hemel bercerita tentang proses kreatifnya merancang Canton Tower. “Ketika kebanyakan menara pencakar langit menampilkan fitur ‘jantan’ yang maskulin, seperti introvert, kuat, lurus, berbentuk kotak-kotak, dan berpokok pada repetisi, kami ingin mencipta­kan menara yang lebih feminin. Kompleks, transparan, berlekuk, dan anggun. Cita-cita kami adalah mendesain bangunan bebas-bentuk yang kaya dan memiliki identitas seperti manusia. Yang merepresentasikan Guangzhou sebagai kota yang menarik dan dinamis,” ungkapnya.

Cerlang cahaya Canton Tower pada malam hari disokong oleh energi yang dihasilkan building integrated photovoltaics (BIPV) yang menyelubungi struktur di bawah kisi-kisi terbuka bangunan. Sistem tenaga solar ini tersusun dari lapisan tipis silikon amorf yang dipasang pada bagian fasad pada ketinggian 438,4-446,8 meter. Teknologi LED digunakan untuk seluruh pencahayaan sehingga menara ini hanya mengonsumsi 15 persen energi dari batas maksimum yang diizinkan untuk penerangan fasad.

Menapak udara

Kesempatan untuk naik sampai bagian dek observasi di ketinggian 433 meter sayang untuk dilewatkan. Namun, lantaran akhir pekan, hari itu antrean pengunjung mengular. Setelah menunggu sekitar 30 menit, rombongan pelancong dari Jakarta dipersilakan naik elevator.

Menuju lantai 108 dengan elevator berpintu transparan adalah pengalaman satu menit yang menarik. Sensasi desir di perut itu nyata terasa ketika kita ditarik meluncur lurus ke atas dengan cepat. Melihat bangunan-bangunan di bawah tampak kian mungil dan horizon mendadak melebar.

Berdiri di titik tertinggi Guangzhou, kita merasa begitu dekat dengan langit. Jangkauan pandang jauh lebih luas. Lewat kaca sirkular 360 derajat, kita bisa memandang seluruh Guangzhou. Lekuk Pearl River yang cantik, kepadatan kota dengan petak-petak permukiman dan bangunan vertikal, pucuk-pucuk pohon yang tampak seperti jajaran brokoli.

Kita juga bisa melihat keindahan karya arsitektur yang lain. Guangzhou Opera House yang didesain mendiang Zaha Hadid. Dari ketinggian, bentuknya seperti cangkang dengan garis horizontal berlapis-lapis.

Jika punya nyali sedikit lebih tebal, pengunjung bisa melangkah ke koridor transparan. Lewat lantai kaca transparan di tepat di bawah telapak kaki, mungkin kita akan merasa jantung berdetak lebih cepat ketika melihat ke bawah dan seketika menyadari betapa jauhnya Anda dari daratan. Seolah menapak udara.

Canton Tower adalah bangunan yang baik dialami dari kejauhan maupun dari dekat sama memikatnya. Dari kejauhan, ia memancarkan keanggunan yang seolah tak terjangkau. Dari dekat, gedung ini menunjukkan kesederhanaan sekaligus kompleksitasnya. Menawarkan pengalaman ruang yang begitu kaya.

Pandangan pertama itu tidak menipu. Canton Tower layak untuk dikenal lebih dekat.[FELLYCIA NOVKA KUARANITA]

Foto-foto Iklan Kompas/Fellycia Novka.