Siapa yang tidak kenal Krakatau? Nama ini melegenda tidak hanya di masyarakat Indonesia, tetapi juga di dunia. Maklum saja, gunung yang meletus pada 1883 ini bukan hanya membuat suara letusannya terdengar hingga ke Australia, tetapi getarannya terasa sampai ke Eropa.

Krakatau merupakan kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Sumatera yang termasuk dalam kawasan cagar alam. Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana yang sirna karena letusannya sendiri pada 26–27 Agustus 1883. Boleh dibilang, kala itu letusannya sangat dahsyat. Bahkan awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Suara letusannya pun terdengar sampai di Alice Springs, Australia, dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Kedahsyatan daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II.

Hebatnya lagi, letusan Krakatau mampu menyebabkan perubahan iklim global. Bahkan, dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York. Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau merupakan bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.

Fenomena Krakatau mampu melenyapkan pulau di sekitarnya dan memicu dua tsunami setinggi 40 meter. Tidak heran jika sejarah panjang letusan Krakatau meninggalkan jejak mendalam pada setiap manusia di muka bumi. Bahkan, keperkasaan dan keelokan Krakatau menginspirasi dalam banyak karya seni literatur, film, maupun penelitian hingga saat ini.

Masih di sekitar Krakatau, terdapat masyarakat Lampung yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan tradisional. Memiliki banyak kampung tua yang masih menjalankan festival-festival, mereka bahkan masih memproduksi kerajinan khas Lampung, yaitu Kain Tapis.

Kain Tapis merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional yang menggunakan benang kapas yang ditenun secara bertahap untuk menghasilkan kesempurnaan kain tenun dan benang perak serta emas yang disulam (cucuk) dengan motif flora dan fauna yang bermakna suatu keselarasan kehidupan terhadap lingkungan maupun sang pencipta alam semesta ini. Bahkan boleh dibilang, pembuatan Kain Tapis ini merupakan tuntutan adat pada para ibu rumah tangga dan para gadis dalam kegiatan sehari-harinya yang memiliki makna skaral dalam masyarakat setempat.

Kemegahan, keindahan, dan kekayaan makna dari Krakatau dan Kain Tapis inilah yang mengilhami terciptanya rangkaian warna koleksi tata rias Sariayu Martha Tilaar 2016, dengan harapan untuk dapat mengilhami kecantikan dan kekayaan makna masyarakat Indonesia. Pada peluncuran Tren Warna Sariayu 2016 beberapa waktu lalu, Sariayu menghadirkan 12 warna menawan, dengan inovasi yang memberikan dua sisi dengan hasil akhir berbeda, matte dan glossy. Koleksi eye shadow yang diluncurkan juga terinspirasi dari keindahan alam Gunung Krakatau dan panorama sekitarnya, biru keunguan, silver grey, dan light tosca yang menghasilkan riasan aktif dan dinamis. Warna-warna Kain Tapis yang merupakan paduan cokelat, kuning keemasan, dan peach juga memberikan inspirasi pada koleksi eye shadow.

Krakatau memang sempat mengguncangkan dunia dengan letusannya. Namun, pesona Krakatau hingga kini juga tetap dapat memancarkan dan menginspirasi banyak orang. Apakah Anda termasuk salah satu orang yang terinspirasi oleh pesona Krakatau? [AYA]

noted: Terpesona Keelokan Krakatau