RINGKASAN
Satu peleton Navy SEAL terjebak di satu rumah penduduk saat melakukan operasi pengintaian di Ramadi, Irak. Peleton itu menghadapi sekelompok tentara Irak. Mereka harus bertahan hidup sampai bantuan datang. Diangkat dari kisah nyata dan berdasarkan penuturan dan ingatan orang-orang yang mengalaminya.
Jenis Film | Action, War |
Produser | Andrew Macdonald, Matthew Penry-Davey |
Sutradara | Alex Garland, Ray Mendoza |
Skenario | Alex Garland, Ray Mendoza |
Pemeran | Michael Gandolfini, Will Poulter, Joseph Quinn, Joseph Quinn, D’Pharaoh Woon-A-Tai, Cosmo Jarvis, Finn Bennett |
Rilisan | A24 Films |
- 14 April 2025
- 95 Menit
- 17+
Ray Mendoza (D’Pharaoh Woon-A-Tai) bersama peleton Alpha One terus menerus berkoordinasi dengan air support untuk bertahan dari gempuran pasukan Irak. Di tengah ketegangan bertahan hidup, Mendoza melihat langsung realitas kedua temannya terkena ledakan bom dan menyebabkan cedera berkepanjangan. Inilah sekelumit ketegangan dari film Warfare (2025).Â
Berawal dari pantauan Elliot Miller (Cosmo Jarvis) dari senjata sniper-nya, suasana menjadi semakin tegang. Elliot melihat mobilisasi massa yang diduga tentara Irak berbaju bebas, semakin banyak di sekitar rumah pengintainya.Â
Tetiba, granat dimasukkan ke lubang pengintai dari rumah pengintaian Navy SEAL. Granat ini menyebabkan Elliot cedera dan dua orang lainnya. Kemudian, tembakan-tembakan membabi buta menargetkan peleton Alpha One.Â
Keadaan semakin parah kala tank yang sedang ingin mengangkut Elliot datang. Saat formasi perlindungan keluar rumah untuk memasukkan Elliot ke Tank, bom IED sudah terpasang di pintu keluar mereka.
Ledakan besar terjadi. Satu penerjemah bahasa mereka meninggal di tempat. Tubuhnya hancur. Elliot dan Sam terluka pada kaki.Â
Mendoza kemudian terus meminta bantuan kepada peleton Alpha Two untuk menjemput korban. Namun, upaya menembus serangan tidak semudah itu. Alpha Two harus berjalan kaki dan “membersihkan” jalan bagi kendaraan angkut.Â
Film perang yang tidak sinematik
Film Warfare (2025) karya Alex Garland dan Ray Mendoza ini tidak seperti film perang lainnya yang menonjolkan keseruan sinematik, seperti Saving Private Ryan, Full Metal Jacket, atau The Hurt Locker.Â
Tidak ada juga drama obrolan yang memilukan, sarat dengan skrip yang puitis, cerita-cerita tentang keluarga, kekasih, atau hal pribadi lainnya di sini.Â
Film Warfare juga bukan mempertunjukkan kehebatan kemampuan perang layaknya 13 Hours in Benghazi atau 12 Strong. Garland dan Mendoza seakan menyindir realitas perang yang sangat menakutkan. Peralatan perang berteknologi canggih tidak serta merta membuatnya aman dari bahaya. Dan, perang melahirkan trauma berkepanjangan.Â
Berbekal ingatan Mendoza dan rekan-rekannya yang selamat dari peristiwa itu, bersama dengan Garland, film Warfare menampilkan realitas terdekat dari situasi di Ramadi, Irak tersebut.Â
Sepanjang film, penonton hanya akan disuguhkan kondisi tegang. Dimulai dari kegembiraan bersama langsung berubah total dengan scene malam hari yang sunyi.Â
Selanjutnya, skrip pembicaraan hanya fokus pada laporan-laporan dari radio milik Mendoza kepada markas dan laporan pengintaian dari para anggota peleton. Penonton akan terasa tidak relate dengan kata-kata tersebut. Misalnya laporan “This is Frogman Six Romeo” yang menjadi paling sering terdengar dari mulut Woon-A-Tai.Â
Garland dan Mendoza memang bermaksud untuk menghadirkan film perang yang tidak “indah”. Sebab, perang memang tidak ada yang indah.Â
Film ini semakin mengukuhkan karakter Garland dan kepiawaiannya dalam membangun suasana yang menegangkan. Dia seakan menjadi sutradara yang spesialis mampu membangun suasana sepi menjadi aksi yang brutal.Â
Uniknya, penonton tidak akan pernah bisa melihat musuhnya secara jelas. Garland dan Mendoza fokus pada pembangunan karakter dan suasana dari sudut pandang Navy SEAL.Â
Teriakan-teriakan kesakitan berpadu dengan desingan peluru bertalu-talu dihadirkan Garland agar penonton seakan masuk ke dalam realitas perang.Â
Dari ingatan yang tersisa
Film ini dibuat berdasarkan ingatan yang tersisa dari Ray Mendoza saat terjun ke pertempuran di Ramadi, Irak pada 2006. Saat itu, Amerika Serikat mencoba untuk menguasai Ramadi, ibukota dari provinsi Anbar.Â
Perang ini berlangsung selama tiga tahun. Selama itu, mengutip dari New York Times sebanyak 600 ribu warga Irak dan 3.000 orang Amerika meninggal dunia.Â
Kisah ini diangkat dari kejadian kecil yang tidak diingat, tepatnya pada November 2006. Satu per satu scene seperti nyata adanya. Dengan alat pendobrak pintu, gerakan militer yang terkoordinasi, hingga pembicaraan yang “hemat”.
Sepanjang film, penonton juga tidak akan merasa bebas. Bagaimana tidak, hampir 80 persen scene berada di dalam rumah yang sempit. Bahkan ada bagian yang terlihat hanya dari lubang teropong senapan sniper milik Elliot.Â
Bahkan, hal-hal alami yang jarang diangkat dari film perang ada di sini. Misalnya, bagaimana Tommy (Kit Connor) lebih sering bengong karena bom granat dan ketakutan. Lalu, kesalahan menyuntik morfin karena gugup dan gemetar. Sampai ketidakmampuan Erik (Will Poulter) sebagai pemimpin peleton karena terguncang.
Tanpa orang yang hadir di situ, detail-detail ini sepertinya tidak akan pernah ada.Â
Baca juga:Â Review Film Shadow Force, Perjuangan Melindungi Keutuhan Keluarga
Cerita di balik film Warfare
Cerita yang ada ternyata sangat memilukan. Elliot yang terkena bom selamat. Namun, dia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi saat misi tersebut. Mendoza, mengutip dari Time, Elliot terus mengirim surel kepada rekan timnya menanyakan momen itu.Â
Dari situlah, Mendoza memutuskan membuat film ini sebagai cara untuk membantu ingatan Elliot kembali.Â
Mendoza bertemu Garland saat menjadi stunt man di film Garland sebelumnya yaitu Civil War. Saat itu, Mendoza menceritakan kepada Garland tentang kejadian di Ramadi itu.Â
Film ini dibuat di London, tepatnya di sebuah bandara bekas perang dunia ke-2 yang kini menjadi studio film dan TV.Â
Dalam pembuatan film ini, para aktor harus mengikuti boot camp yang dilatih oleh Navy SEAL. Ini untuk mempersiapkan diri pada stres dan kelelahan saat syuting film yang realistis ini.Â
Para aktor juga benar-benar harus memakai peralatan perang seberat hampir 22 kilogram. Mereka juga benar-benar belajar tentang cara berbicara melalui radio, cara memegang senjata, dan terminologi di dunia militer.Â
Perang tidak pernah indah
Dalam film ini, Garland tidak menampilkan pembangunan karakter. Ini seakan mengesankan bahwa aksi kepahlawanan ini tidaklah penting jika ternyata kejadiannya sangat mengerikan. Tak ada pahlawan dalam perang bodoh ini.Â
Garland tidak ingin mengglorifikasi perang dan romantisasi, tetapi lebih mengedepankan dampak psikologis dan fisik.Â
Untuk semakin memberi kesan realistis dan membawa penonton masuk ke dalam ketegangan, Garland memberikan suara-suara yang menggelegar dan desingan peluru tanpa henti. Akting pemainnya juga terasa alami karena benar-benar ketakutan dan kebingungan.Â
Jika ada pertanyaan, kenapa tidak ada dari sudut pandang warga sipil Irak? Karena Garland seakan ingin menyindir kejadian tersebut. Karena hal itu, film ini seperti menjadi sebuah dokumenter, bukan film blockbuster ala Amerika Serikat.Â
Mungkin inilah film perang ala Amerika yang jujur akan realitas perang, tanpa perlu karakter yang menonjol. Karena konteksnya jelas, perang itu tidak ada yang indah.Â
Review overview
Summary
7