Seorang pekerja mampu meraup pendapatan bulanan sebesar Rp 25 juta. Ia merasa bagian dari kelas menengah, bukan kelas atas. Meski memiliki mobil buatan Eropa, tetapi yang ia mampu beli hanya mobil seken. Menurutnya, masih banyak orang yang gaya hidupnya lebih tinggi, setidaknya itu terlihat di media sosial. Ada pula seorang penjaga toko dengan penghasilan Rp 1,5 juta per bulan. Ia pun mengaku sebagai kelas menengah. Lalu, siapakah kelas menengah yang sebenarnya?

Riset mengenai pengelompokan kelas menengah kerap kali memicu diskusi panjang karena kelas sosial dapat diklasifikasikan dengan berbagai metode. Sebagian peneliti menggunakan ukuran pengeluaran, sedangkan lainnya menggunakan pendapatan (income). Namun, Hakuhodo Institute of Live and Living (HILL) memberikan sudut pandang baru. Institusi think thank Hakuhodo Network ini menggunakan persepsi untuk melihat kelas menengah di Asia Tenggara. Bagaimana pun, gaya hidup masyarakat tidak selalu konsisten dengan tingkat pendapatan.

Dalam presentasinya pada Selasa (16/2) lalu, di Jakarta, HILL memaparkan hasil riset terbaru tentang gaya hidup konsumen di pasar Asia Tenggara yang diwakili 5 negara (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam). Penelitian dilakukan pada Juni 2015 dengan total 2.500 responden, rentang usia 20–59 tahun, dan kategori Sosial Ekonomi Status (SES) A–D. Hasilnya menarik. Ternyata, di negara-negara ASEAN, sebagian besar penduduk mengidentifikasikan dirinya sebagai kelas menengah.

“Sei-katsu-sha”

Filofosi yang digunakan Hakuhodo adalah sei-katsu-sha, yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai life living person. Publik tidak hanya dideskripsikan sebagai konsumen, tetapi juga individu dengan gaya hidup, aspirasi, dan mimpinya sendiri. Pendekatan ini menuntut peneliti melakukan beberapa tahapan. Mulai dari mengobservasi individu, mengetahui penyebab perilakunya, hingga mendesain gaya hidup individu pada masa yang akan datang. Studi kuantitatif dan kualitatif pun diterapkan.

Sei-katsu-sha memberikan pengertian baru. Kelas menengah merujuk pada 3 kategori individu. Pertama, individu yang dapat memenuhi kebutuhan gaya hidupnya (desired lifestyle) dengan pendapatan pasif (Upper Class). Kedua, individu yang bekerja untuk mencapai gaya hidup yang diinginkan (Middle Class). Terakhir, individu yang tidak dapat mencapai gaya hidup yang diinginkan (Lower Class). Kebutuhan gaya hidup dapat diturunkan pada hal yang menggembirakan hidup atau suatu hal di luar kebutuhan dasar.

Pendekatan baru ini juga memperjelas bahwa pengertian kelas menengah berdasarkan persepsi adalah sebuah pola pikir orang-orang yang terus bekerja keras untuk mendapatkan kesempatan dan membuat kemajuan untuk mencapai gaya hidup impian. Sebagai negara dengan populasi terpadat di Asia Tenggara, Indonesia memainkan peran utama dalam memberikan kontribusi kelas menengah. Tak mengherankan, salah satu responden asal Indonesia dengan penghasilan Rp 1,5 juta per bulan masih bisa mencukupi kebutuhan modifikasi sepeda motor (Rp 10 juta) dan ponsel cerdasnya (Rp 4 juta).

Menggali kelas menengah berdasarkan persepsi menghasilkan perbedaan signifikan dibandingkan menggunakan ukuran SES. Sebagai gambaran, sebanyak 56 persen penduduk Indonesia tergolong kelas menengah berdasarkan SES, sedangkan berdasarkan persepsi jumlahnya mencapai 72 persen. Di Malaysia, sebanyak 46 persen penduduk tergolong kelas menengah berdasarkan SES, sedangkan berdasarkan persepsi sebanyak 79 persen. Pola yang sama juga berlaku di Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Perbedaan persentase itu menandakan bahwa market kelas menengah sebenarnya begitu besar. Pemilik merek dituntut lebih jeli lagi. Tidak menutup kemungkinan, mengambil langkah untuk mendefinisikan ulang segmentasi kelas konsumen, strategi promosi, dan keuntungan bagi konsumen. [GPW]

noted: Siapakah Kelas Menengah ASEAN