Jika ditanyakan thalasemia, barangkali Anda langsung mengernyitkan dahi. Thalasemia memang tidak terlalu akrab di kuping masyarakat Indonesia. Padahal, jumlah penderita thalasemia cukup besar.

Thalasemia merupakan suatu penyakit kelainan darah bersifat genetik. Thalasemia biasanya merusak DNA karena tidak optimalnya produksi sel darah. Hal ini juga kerap menyebabkan anemia. Gejalanya sendiri yang dapat dilihat secara kasatmata seperti pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang. Sebagian ahli berpendapat, bila tidak ditangani serius, anak-anak penderita thalasemia hanya dapat bertahan hidup hingga usia delapan tahun.

Karena bersifat genetik, jika suami atau istri membawa sifat thalasemia, anak mereka berpeluang menderita thalasemia dengan persentase 25 persen. Jika janin terkena thalasemia, transfusi darah akan dibutuhkan seumur hidup. Akibat terburuk, penderita bisa meninggal dunia karena penimbunan zat besi pada organ jantung.

Deteksi dini terhadap thalasemia dianggap penting karena penanganannya akan lebih baik. Deteksi dapat dilakukan sejak bayi masih dalam kandungan. Namun, thalasemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya.

Untuk mencegah terjadinya thalasemia pada anak, pasangan yang akan menikah dianjurkan menjalani tes darah. Tes ini untuk melihat nilai hemoglobin dan profil sel darah merah dalam tubuh. Setelah itu, ada baiknya sebelum menikah lakukan pengecekan darah untuk mengetahui apakah ada gen pembawa thalasemia di diri Anda atau pasangan.

Penderita thalasemia dianjurkan untuk menghindari makanan yang diasinkan atau diasamkan dan produk fermentasi yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh. Dua cara yang dapat ditempuh untuk mengobati thalasemia adalah transplantasi sumsum tulang dan teknologi sel punca (stem cell).

Pencegahan thalasemia juga harus melibatkan peranan pemerintah. Hal ini untuk mengontrol penyebaran thalasemia lebih jauh. Beberapa negara maju sudah menjalankan kontrol akan penyebaran penyakit ini. Siprus bahkan berhasil menenkan penyebarannya hingga nol persen. Sementara itu, Italia mengharuskan seseorang melakukan pemeriksaan. Saat mengajukan pernikahan, pasangan tersebut harus memperlihatkan surat hasil pemeriksaan tersebut. [*/VTO]

Foto dokumen Shutterstock.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Agustus 2013