Dunia seni sebenarnya mengelilingi kehidupan, tetapi kita kerap mengambil jarak. Ia dianggap sebagai keterampilan tambahan atau sekadar hobi. Bahkan, dianggap bertolak belakang dengan dunia sains. Posisi seni dikesampingkan. Padahal, jika menengok kembali pada para founding fathers Indonesia, mereka adalah pencinta seni. Diplomasi seni pun menjadi bagian dari sejarah politik perjuangan bangsa.

Seni menyangkut hal-hal kompleks di dalam diri manusia. Ada wilayah intelektualitas, rasa, motorik, dan hal-hal yang menyangkut kondisi mental maupun fisik seseorang.

“Manusia yang hebat itu, kan, yang punya keseimbangan. Mampu menggunakan seluruh bagian dari dirinya, baik mental maupun fisik, secara optimal. Dan, seni, terutama musik, menjadi media yang efektif untuk itu,” ujar Jay Wijayanto, konduktor The Indonesian Children Choir, pada sebuah kesempatan.

“Di Eropa dulu keterampilan bermusik menjadi salah satu indikator intelektualitas. Dalam musik, ada matematikanya, tidak sekadar ekspresi. Dengan kata lain, memikirkan dengan perasaan dan merasakan dengan pikiran. Maksudnya, ada teori-teori musik dan norma musik yang harus dipahami,” terangnya.

Hal senada diungkapkan seniman tari asal Bali Ida Ayu Wayan Arya Satyani (38) yang akrab disapa Dayu Ani. “Seni juga sains, bukan hanya olah rasa. Seni musik berkaitan dengan logika dan matematika karena ada rumusannya. “Jika melihat perkembangan anak, apabila musiknya kuat biasanya logikanya juga kuat.”

Mengapa musik? Dayu Ani menjelaskan, musik adalah bahasa paling purba dalam peradaban manusia. Musik menjadi dasar perkembangan seni selanjutnya. Menari, misalnya. Harus bisa memahami musik dengan baik jika ingin menjadi penari yang baik pula.

 

Mengasah intuisi

Sejatinya, seni punya peranan penting dalam proses tumbuh kembang anak.  “Seni berguna untuk mempertajam intuisi, getaran yang paling dasar dari seorang manusia untuk berhubungan dengan lingkungannya, agamanya, kehidupannya. Seni menjadi cara untuk membangun karakter sehingga seni idealnya menjadi dasar dalam proses pendidikan anak,” papar Dayu Ani.

Belajar seni, tambahnya, tidak lantas menjadikan anak seorang seniman. Intuisi yang terlatih memanusiakan jiwa. Menjadi manusia inilah yang kerap terlupa dari “agenda harian” kala hidup di kota besar dengan beragam problematikanya. Sikap egois, tidak mampu bertoleransi, atau sekadar menghormati orang lain telah lama tertoleransi dalam hidup keseharian. Ketika norma tak lagi berjalan, sikap saling menghujat diterima begitu saja.

Mengasah naluri juga dipercaya mampu membentuk seseorang menjadi lebih visioner dan memiliki karakter yang kuat. Mempelajari seni tradisi, misalnya, secara tidak langsung mengajak anak mengenal nilai-nilai budaya dan memelihara tradisi agar tetap hidup. Nilai-nilai budaya inilah yang menjadi pembentuk karakter anak.

 

Eksposur

Pengenalan seni bisa dilakukan sedini mungkin. Berbagai penelitian menyarankan eksposur itu dimulai sejak janin dalam kandungan. Seiring buah hati tumbuh dewasa, ragam eksposur seni perlu diperkenalkan.

“Tetapi, jangan memaksa. Ajak anak menonton pameran, pagelaran musik, drama, dan lain-lain. Eksposur saja. Lalu sebagai orangtua kita harus fasilitatif. Artinya kalau tidak suka, ya, jangan dipaksa, tetapi jangan terlalu dilepas. Tarik-ulur saja,” terang Jay.

Berawal dari hanya mendengarkan atau terekspos, anak akan menyerap. Pada usia 4-5 tahun biasanya mulai bisa diarahkan. Di komunitas Maha Bajra Sandhi yang diawaki ayah Dayu Ani, anak-anak mulai dari usia 3 tahun mulai bergabung. Mereka dibebaskan untuk bermain dan mengeksplorasi berbagai kegiatan yang berlangsung. “Nanti lama-kelamaan akan terlihat bakatnya ke mana. Bakatnya itulah yang kemudian diasah,” terang Dayu Ani.

Seni ibarat pintu pembuka untuk belajar beragam hal. Pada akhirnya, seni bukan sekadar penyeimbang dalam proses pembelajaran, melainkan menjadi esensi dalam proses tumbuh kembang manusia.  [MI RANI ADITYASARI]

noted: Seni Bukan Sekadar Olah RasaÂ