Kenapa rendang? Hal ini karena tiga tahun lalu, tepatnya di tanggal 21 Agustus 2021, ada sebuah acara memasak rendang secara daring dan menjadi yang terbesar sepanjang masa. Acara tersebut digelar oleh Gubernur Sumatera Barat kala itu, yaitu Mahyeldi.
Acara ini kemudian dicatat oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Adapun rekor yang dipecahkan karena 2.814 peserta ikut terlibat. Menariknya, peserta itu tidak hanya berasal dari Indonesia saja, tetapi juga dari seluruh benua di dunia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun pada 2013 telah menetapkan rendang sebagai hidangan nasional Indonesia dan warisan budaya tak benda.
Namun, tidak hanya itu yang membuat rendang menjadi istimewa. Sejarah rendang ternyata sangat panjang dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Minang yang sangat kental.
Citra rendang memang telah masyur, baik sebagai makanan etnik domestik hingga tingkat global. Popularitas rendang meningkat setelah CNN Go merilis jajak pendapat bertajuk “World’s 50 Most Delicious Foods” pada 2011 dan menempatkan olahan daging khas Minangkabau ini sebagai makanan terlezat di dunia.
Cerita rendang tidak berhenti di situ. Pada 2017, rendang kembali kukuh sebagai pemuncak saat CNN Travel menggelar jajak pendapat “World’s 50 Best Foods”. Dari 35 ribu suara, rendang menjadi jawara.
Jelas ini menjadi sebuah “kemenangan” kecil atas Malaysia yang sempat mengklaim rendang sebagai budayanya. Namun, demikian, sebenarnya rendang punya pengaruh asing dalam membentuk budaya rendang itu sendiri.
Sejarah rendang dimulai dari dakwah
Dalam sebuah tulisan Rendang dan Martabat Minang dalam sebuah seri Jelajah Kuliner Nusantara di Harian Kompas yang terbit pada 1 September 2013, asal-usul rendang sebenarnya masih tidak ada yang menyebutnya pasti.
Anggapan pertama dari sejarawan Muhammad Nur, rendang telah disebut dalam sejarah lisan antara abad ke-4 dan ke-10. Sementara itu, catatan tertulis baru muncul dalam laporan seorang ulama Islam, Syekh Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman) pada abad ke-17.
Anggapan kedua dikemukakan oleh sejarawan Nurmatias yang berasumsi bahwa rendang telah menjadi bagian dari penyebaran agama Islam di Sumatera Barat oleh Syekh Burhanuddin pada abad ke-17. Anggapannya juga menyebut, kemungkinan ada makanan seperti rendang yang terbuat dari daging non-halal sebelum masuknya Islam. Setelah masuknya Islam, muncul gerakan dakwah Islam di Sumatera Barat.
Anggapan ketiga dikemukan oleh Gusti Asnan yang mengangkat dari Laporan residen Padang HJJL Ridder de Stuers pada 1827. Dari laporan tersebut, Stuers menulis perbekalannya berbentuk daging hitam kering yang dibawa pedagang dari Minangkabau ke Singapura dan Malaysia melalui sungai Batang-Kwantang dan Sungai Indragiri.
Mengutip dari artikel ilmiah dari Fadly Rahman berjudul Tracing the origins of rendang and its development yang terbit di Journal of Ethnic Foods, catatan paling awal soal rendang adalah naskah melayu dari awal abad ke-16 bertajuk Hikayat Amir Hamzah yang ditulis pada masa penyebaran Islam di Melayu.
Sejatinya naskah tersebut merupakan adaptasi dari karya sastra klasik Persia yang dikompilasi ke dalam bahasa Melayu untuk menyemangati para prajurit. Di dalam naskah tersebut ditemukan kata “rendang” dan “merendang”. Adapun kutipannya sebagai berikut.
Khoja Buzurjumhur Hakim pun pergi pula ke kedai orang merendang daging kambing, lalu ia berkata ‘beri apalah daging kambing rendang ini barang segumpal
Dari sini, kata merendang adalah istilah pengolahan rendang dan rendang adalah produk olahannya. Namun, konteks lokasinya adalah Malaka, bukan Sumatera Barat.
Justru pada catatan perjalanan sastrawan Perancis Pierre Crignon pada 1529, makanan penduduk asli Sumatera Barat bukanlah daging. Dalam catatannya, disebutkan makanan masyarakat di sana adalah nasi setengah matang yang dimasak dengan air tanpa garam dan ikan kecil sebesar jari yang dikeringkan di bawah sinar matahari.
Justru saat ada beberapa potong ayam panggang atau direbus dengan sedikit air, itu adalah momen istimewa. Berdasarkan artikel ilmiah itu, masyarakat Sumbar, tepatnya di wilayah Tiku – tempat Pierre berkunjung, lebih sering konsumsi nasi dan ikan.
Sementara dari catatan Syekh Burhanuddin saat berdakwah di Ulakan, dia sangat menikmati hidangan sepotong daging ayam yang diolah dengan bumbu. Sayangnya, bumbu ini tidak dijelaskan apa saja.
Namun, setelah memakannya, ternyata pemotongan ayamnya tidak dilakukan secara syariah Islam. Kemudian, dia dibawakan daging babi hutan yang dipanggang. Burhanuddin menolak dan mulai menasehati masyarakat di sana untuk meninggalkan yang haram.
Dari cerita Crignon dan Burhanuddin, satu hal yang sama adalah pembatasan konsumsi protein hewani dan teknik pengolahan daging dengan cara dipanggang. Cara ini ternyata sudah digunakan untuk oleh masyarakat Sumatera Barat, dan juga Asia Tenggara.
Baca juga:Â Review Buku Randang Bundo : Mengenal Serba-Serbi Rendang
Awal penggunaan daging
Menurut Janet P Boileau dalam disertasinya berjudul A Culinary History of the Portuguese Eurasians: the origins of Luso-Asian cuisine in the sixteenth and seventeenth centuries, pengaruh makanan daging ada andil dari bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis. Dari disertasi itu, warisan masakan khas Portugis adalah teknik pengawetan makanan yang tingging konsumsi daging dan berbagai teknik pengolahannya.
Teknik pengolahan daging ala Portugis meliputi assado (memanggang), recheado (mencamput daging dengan bumbu), buisado (merebus), dan bafado (mengukus). Dari disertasi itu, pengaruh kuliner itu diserap pertama kali oleh orang Cristang, orang Melayu yang pindah agama menjadi Kristen.
Selama satu abad kekuasaan Portugis, orang cristang itu mengadopsi dan menikmati kebiasaan konsumsi daging dan pengolahannya.
Namun, setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda, Portugis diusir. Masyarakat Cristang kesulitan untuk memenuhi kebiasaan itu. Kemudian mereka menemukan cara seperti masyarakat Makau yang juga dijajah Portugis, yaitu teknik memasak dengan cara mengawetkan bahan makanan dari daging hingga sayur.
Walaupun demikian tidak ada naskah satupun yang menyebutkan secara langsung hubungannya. Namun, jika dikaitkan dengan naskah Hikayat Amir Hamzah di abad ke-16 yang sudah terkenal di Malaka saat pengaruh Portugis muncul akan menjadi menarik.
Pengaruh dari India dari teks Eropa
Seorang penulis Belanda Fredericus Gueynier mengasosiasikan rendang dengan kata friccaseren. Dalam penulisan Belanda kuno, kata ini berasal dari fricassee yang merupakan metode memasak daging dari Perancis yang dipotong dan direbus.
Gueynier juga melihat ada kemungkinan asal usul rendang karena pengaruh dari India terhadap kuliner Melayu, di mana ada penggunaan rempah-rempah yang meresap bersama santan dalam pengolahannya. Adapun India dan Sumatera punya hubungan terikat baik secara perdagangan rempah-rempah dan politik.
Pengaruh ini ditemukan dalam buku The History of Sumatra dari William Marsden. Dia menemukan bahwa kari yang diolah oleh orang Sumatera menggunakan cabai daripada merica dan santan. Sayangnya dalam catatannya, Marsden tidak spesifik menyebutkan kata rendang. Dia malah menyebutkan dendeng.
Namun, Marsden menuliskan teknik pengolahan yang berbeda dari dendeng, dan lebih dekat dengan merendang. Ini tertulis dari jika dipanaskan berulang kali, daging akan menghitam dan tahan lama. Cara ini membuat daging lebih awet dan menjadi bekal makanan favorit masyarakat Sumbar saat merantau.
Baca juga:Â Cerita Rendang yang Tak Pernah Usai dari Dulu Hingga Sekarang
Rendang ikut merantau
Dari artikel ilmiah ini, budaya merantau orang Minangkabau ikut membawa rendang menyebar, termasuk ke Negeri Sembilan di Malaysia. Karena Malaysia jadi tujuan merantau, rendang menjadi populer.
Padahal masyarakat di Negeri Sembilan adalah keturunan Minangkabau. Sebab, rendang yang ada di sana lebih dekat dengan cara mengolah rendang ala masyarakat Sumbar.
Karena sifatnya yang awet, perantau Minang ini meminta untuk dikirimkan rendang. Kenikmatan rendang pun mulai menular ke orang Eropa. Kenikmatan ini dituangkan menjadi sebuah tulisan oleh sebuah majalah bernama Soenting Melajoe yang juga menyebarkan resep-resepnya.
Rendang semakin populer dengan berdirinya kedai lepau (warung makan) di mana perantau Minang bermukim. Saking populernya, rendang banyak ditulis berbagai bahasa daerah dan ditulis di buku resep. Rendang menyebar melintasi batas geografis, etnis, dan ras.
Popularitas rendang tidak bisa dilepaskan dari kegiatan merantau masyarakat Minangkabau. Ini merupakan penghubung yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Minangkabau dan tentu saja telah membentuk sejarah rendang yang menjadi warisan budaya Indonesia.