Kalender lunar berbeda dengan kalender Masehi atau Gregorian yang kita gunakan sehari-hari. Jika kalender Masehi dibuat berdasarkan pergerakan Bumi terhadap matahari, kalender lunar dibuat berdasarkan pergerakan bulan terhadap Bumi. Oleh karena itu, rentang waktu dalam satu siklus atau setahun kalender lunar lebih singkat.
Pada kalender lunar, satu tahun umumnya terdiri atas 353–355 hari, yang dibagi ke dalam 12 bulan. Namun, untuk mengejar musim dan ketertinggalannya atas kalender Masehi, setiap tiga tahun ada satu bulan tambahan dalam penanggalan lunar. Pada tahun khusus tersebut, terdapat 13 bulan sehingga pada tahun itu ada 383–385 hari.
Tahun ini, pada 12 Februari mendatang dalam kalender Masehi, kita memperingati Tahun Baru Imlek 2572.
Berawal dari upacara para petani
Sejarah tahun baru Imlek memang lebih panjang ketimbang Masehi. Sekitar 3.800 tahun lampau, masyarakat agraris kuno di China rutin melangsungkan ritual pemujaan sebagai wujud syukur atas dimulainya musim tanam.
Meski dilakukan secara rutin, tanggal upacara ini belum pasti setiap tahunnya sampai masa Dinasti Han yang memerintah (202 sebelum masehi–220 sesudah masehi), ketika Kaisar Wudi menitahkan untuk menggunakan kalender lunar. Hari pertama pada bulan pertama penanggalan ini pun ditetapkan sebagai waktu dilangsungkannya seremoni.
Upacara syukur para petani tersebut menjadi embrio festival musim semi yang dirayakan sampai sekarang. Kebetulan, awal tahun pada kalender lunar bertepatan dengan akhir musim dingin dan awal musim semi. Karena itu, perayaan tahun baru di China juga dibarengkan dengan festival yang diadakan sebagai ungkapan syukur atas datangnya musim semi.
Sejak periode Dinasti Han, festival sekaligus tahun baru ini lalu menjadi hajatan nasional. Pemerintah turut melakukan karnaval, seluruh penduduk juga berkumpul untuk merayakannya.
Aktivitas-aktivitas baru untuk merayakan festival ini juga lantas muncul, seperti begadang, membakar bambu layaknya kembang api di masa sekarang, atau juga menggantung bilah-bilah kayu persik.
Baca juga :Â
Legenda Nian
Tentang bermulanya peringatan Tahun Baru China, ada pula beberapa legenda yang dikisahkan turun-temurun. Salah satunya tentang monster bernama Nian (nian dalam bahasa Mandarin juga berarti tahun).
Nian adalah monster tak kenal ampun yang akan menyerang penduduk desa setiap akhir musim dingin. Di tengah suhu yang menusuk, monster kelaparan ini akan memakan hasil panen, ternak, bahkan manusia.
Untuk melindungi diri, penduduk menaruh makanan di depan pintu pada awal tahun, lalu menutup pintu rapat-rapat. Para penduduk ini percaya, sesaji yang dihidangkan akan membuat Nian kenyang dan tidak menyerang atau memakan hasil panen serta ternak mereka.
Suatu kali, ketika para penduduk berlindung di rumah dan hanya mengamati kedatangan Nian dari jendela atau celah rumah, seorang anak kecil berbaju merah tampak berkeliaran di luar.
Mereka yang melihat bocah ini terkesiap ketika tahu dari jauh Nian mendekat ke desa mereka. Namun, tak dinyana, alih-alih menyerang anak kecil ini, Nian justru berlari ketakutan.
Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah. Setelah itu, setiap kali menjelang tahun baru, penduduk mematut diri dengan pakaian berwarna merah. Mereka juga menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Kembang api dinyalakan untuk membuat Nian tak berani mendekat. Dari legenda pengusiran Nian inilah kita bisa merunut mengapa Imlek identik dengan warna merah.
Oh iya, soal penyebutan tahun baru China sebagai Imlek, ini bermula dari penyebutan tahun baru China oleh orang Hokkian di Indonesia. Negara lain mungkin tak mengenal istilah Imlek.
Di Indonesia, perayaan tahun baru Imlek di depan umum sempat dilarang selama 1968–1999 di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Warga Indonesia keturunan Tionghoa memperoleh kembali kebebasan untuk merayakan Imlek pada 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Tahun berikutnya, Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Setelah itu, pada 2003, Presiden Megawati Soekarno Putri meresmikannya sebagai hari libur nasional.