Imlek menjadi hari raya paling penting bagi warga Tionghoa. Di China, masyarakatnya juga mengenal tradisi pulang kampung (mudik) untuk merayakan hari raya ini.

Imlek terdiri atas dua kata, im yang berati bulan dan lek yang berarti penanggalan. Ini berasal dari dialek Hokkian yang secara harfiah bermakna kalender bulan.

Konon, pada mulanya, Imlek dirayakan oleh para petani China yang bergembira saat menyambut musim bercocok tanam. Itulah sebabnya, hari raya ini juga disebut sebagai Festival Musim Semi.

Imlek juga menjadi momentum pertemuan kembali seluruh anggota keluarga yang selama setahun mungkin bekerja di luar kota atau luar negeri. Saat merayakan Imlek, warga Tionghoa juga saling mengunjungi dan bersilaturahmi serta saling berbagi cerita dan pengalaman.

Ada beberapa ritual untuk menyambut Imlek, antara lain tradisi rapi dan bersih diri. Yang dibersihkan tidak hanya badan jasmani, tetapi juga tempat usaha dan tempat tinggal, seminggu sebelum Imlek. Maknanya, membuang segala hal buruk atau yang lama dan bersiap menyambut yang baru. Kegiatan bersih-bersih ini justru tidak dilakukan pada saat Imlek karena dipercaya akan mengusir rezeki.

Ritual selanjutnya adalah membeli baju baru dan menggunting rambut, menghias rumah dengan bunga dan pohon kecil, dan mencuci rambut yang diyakini membawa keberuntungan. Untuk busana, yang paling disarankan adalah yang bernuansa merah.

Guna menambah keberuntungan, rumah juga dihiasi dengan kertas-kertas yang bertuliskan kata-kata bijak tentang keberuntungan dan kesejahteraan. Warga yang merayakan juga disarankan untuk membayar semua utang dan tak boleh membuat utang pada hari Imlek.

Perilaku dan ucapan pada saat Imlek juga diatur sebaik-baiknya sebab hal ini diyakini ikut menentukan nasib orang itu pada satu tahun yang akan dijalaninya. Yang khas dari perayaan Imlek adalah ornamen-ornamen berwarna merah, kue keranjang, angpau, petasan, lampion, dan barongsai.

Di China, suasana Imlek bahkan sudah terasa sebulan sebelumnya. Pada saat inilah keberuntungan para pedagang pernak-pernik Imlek mencapai puncaknya.

Kuliner lokal

Kue Keranjang (Foto: dok. Tommy Budi Utomo).

Suasana Imlek juga tak lepas dari keanekaragaman kuliner. Yang menjadi ikon antara lain kue keranjang, misoa, ikan bandeng, dan jeruk.

Namun, di Indonesia, tradisi merayakan Imlek telah membaur dengan kebiasaan masyarakat lokal. Termasuk sajian makanannya. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah contohnya, warga yang merayakan Imlek juga menyuguhkan gudeg, nasi liwet, wajik, lumpia, wedang ronde, dan kuliner khas lainnya.

Baca juga : 

Khoe Liong Yen (33), WNI yang tinggal di Solo, Jawa Tengah, mengaku selalu merayakan Imlek dengan kearifan lokal. “Solo itu khasnya, kan, nasi liwet ya, jadi keluarga saya selalu menyediakan menu ini. Juga ronde yang sangat cocok untuk minuman waktu Imlek karena biasanya hujan, ya.”

Ia juga menjelaskan sedikit tentang makna kue keranjang yang melambangkan harapan agar hubungan antar-anggota keluarga dan dengan warga sekitar kian erat. “Kue keranjang bentuknya bundar dan legit atau lengket. Ini jadi simbol persaudaraan dengan keluarga dan tetangga sekitar kita, ya. Makanya kita selalu membagi-bagikan kue keranjang kepada tetangga.”

Selain itu, ujar Khoe, kue keranjang juga melambangkan kelancaran rezeki. Sementara itu, misoa menyimbolkan panjang umur dan harapan agar pada Imlek pada tahun mendatang bisa tetap berkumpul lagi bersama keluarga.

Ikan bandeng juga dipilih untuk mewakili keuletan dalam berusaha. Khoe mengungkapkan, bandeng memiliki begitu banyak duri. Untuk menikmatinya, kita perlu “ulet” memisahkan duri dari dagingnya. “Inilah makna yang terkandung. Jadi, agar usaha berhasil, kita harus ulet dan tidak mudah menyerah.”

Adapun jeruk, cerita Khoe yang pernah merantau ke China, masa Imlek di sana sering berbarengan dengan musim panen jeruk. Saking melimpahnya buah jeruk saat itu, para petani di China membagikan hasil panennya untuk warga di sekitar rumah yang tak menanam pokok jeruk. Kebiasaan saling berbagi rezeki inilah yang kemudian dianakcucukan.

“Sebutir biji jeruk bisa menghasilkan banyak buah, dan sebutir buah jeruk dapat menghasilkan banyak biji. Namun, buah jeruk tak selamanya manis. Ada yang asam pula. Ini gambaran perjalanan hidup manusia. Kita hanya diingatkan untuk selalu bersyukur dan belajar dari sebutir jeruk,” kata Khoe.

Ia berharap agar WNI keturunan Tionghoa yang merayakan Imlek di Indonesia tidak hanya membeli jeruk impor, tetapi juga menggunakan jeruk lokal atau dari panen para petani jeruk Tanah Air. “Indonesia punya banyak daerah penghasil jeruk, ya. Ini juga bisa untuk memenuhi kebutuhan jeruk saat Imlek.”

Kita berharap, Imlek tahun ini bisa mengundang lebih banyak keberuntungan dan kesejahteraan bagi semua orang. Setidaknya, agar pandemi cepat teratasi dan kita bisa hidup normal kembali. Mudah-mudahan.