Pada zaman perjuangan sampai dengan masa-masa awal kemerdekaan, persoalan kesehatan menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia. Kesejahteraan rakyat yang belum baik dan merata, juga pengetahuan soal gizi yang masih rendah, menyebabkan masyarakat mengalami berbagai masalah kesehatan. Gizi buruk menjadi tantangan yang mesti diselesaikan.
Seperti dilansir Historia, selama pendudukan Jepang, banyak ditemukan penyakit busung lapar (dulu disebut honger oedeem) meski datanya dilarang dicatat oleh penguasa. Pada periode yang sama, sebagai gambaran, Bagian Penyakit Rakyat di Dinas Kesehatan Kota (DKK) Jakarta memiliki total sekitar 204 ribu pasien.
Sebanyak 42 ribu di antaranya adalah malaria. Selain itu, lebih dari 26 ribu sakit frambusia, infeksi bakteri kronis yang memengaruhi kulit, tulang, dan tulang rawan.
Masalah kesehatan masih terus berlanjut ketika Indonesia merdeka, sampai jauh setelahnya. Selain malaria dan frambusia, penyakit yang tercatat dialami banyak orang antara lain disentri, malaria, typhus abdominalis, dan para typhus. Beriringan dengan penyakit-penyakit tersebut, gizi buruk masih menjadi masalah umum di masyarakat.
Baca juga :
Upaya atasi masalah gizi
Melihat kondisi gizi pada masyarakat Indonesia yang kurang baik itu, J Leimena yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI pada periode awal kemerdekaan menunjuk Poorwo Soedarmo untuk mengepalai Lembaga Makanan Rakyat (LMR) yang waktu itu bernama Institut Voor Volksvoeding (IVV).
Poorwo adalah lulusan sekolah kedokteran STOVIA yang lantas mempelajari ilmu gizi di Post Graduate Institute, London (1949); dan Institute of Nutrition, Manila (1950). Setelah itu, ia juga mendalami ilmu tersebut di Harvard University dan Columbia University.
Kesadaran masyarakat Indonesia yang rendah tentang gizi menjadi keprihatinan Poorwo. Banyak pula penduduk yang miskin sehingga kondisi kesehatannya kian terbelakang.
Dalam menjalankan perannya sebagai Kepala LMR, Poorwo pun menjadikan upaya menumbuhkan kesadaran dan pendidikan akan pentingnya gizi sebagai prioritas. Untuk memopulerkan gizi secara praktis, Poorwo menggagas slogan “empat sehat lima sempurna” yang mudah diingat.
Makanan “empat sehat” terdiri atas nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran, dan buah-buah yang mewakili unsur gizi karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Di samping itu, ditambahkan susu sebagai pelengkap hingga makanan menjadi “empat sehat lima sempurna”. Meski sekarang ilmu gizi berkembang dan konsep tersebut diperbaiki, pada waktu itu, slogan ini menjadi pendekatan yang cukup bernas untuk memperkenalkan unsur gizi kepada masyarakat.
Pada 1950-an, tantangan yang lain adalah sebagian masyarakat masih buta aksara dan kurang mampu. Jadi, cara-cara penyebaran informasi secara lisan sangat diperlukan. Poorwo berpikir, dibutuhkan jauh lebih banyak orang yang melek gizi untuk meluaskan pengetahuan tentang gizi.
Poorwo pun mendirikan Sekolah Djuru Penerang Makanan (SDPM) pada 25 Januari 1951. Di sinilah kader-kader pendidikan gizi akan ditempa. Mereka mempelajari lebih dalam soal peran nutrisi bagi tubuh. Mereka juga melakukan penelitian tentang pola makan dan penyakit yang berhubungan dengan makanan.
Mereka ini nantinya akan langsung berinteraksi dengan masyarakat dan menyosialisasikan pentingnya gizi. Tanggal pendirian SDPM dan dimulainya pendidikan kader gizi inilah yang lantas diperingati sebagai Hari Gizi Nasional.
Pendirian SDPM ini juga mendorong diinisiasinya berbagai pendidikan tentang gizi di Indonesia, antara lain Akademi Pendidikan Nutrisionis (APN) pada 1956 dan Bagian Ilmu Gizi–Fakultas Kedokteran UI (1960). Berdiri pula organisasi-organisasi gizi seperti Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dan Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGMI).