Jika hidup pada abad ke-15 di China, beginilah cara tubuhmu dikebalkan terhadap virus cacar: serbuk kerak dari luka cacar yang telah mengering ditiupkan ke dalam hidungmu. Kamu menghirupnya dan masuklah virus cacar ke tubuh agar imunitas dapat dibentuk.
Waktu itu, orang-orang China mengamati, mereka yang telah satu kali terkena cacar akan kebal terhadap infeksi karena virus ini. Ide itu lalu muncul, menyodet luka dari orang yang mengalami cacar dengan gejala ringan, mengeringkannya, menumbuknya jadi bubuk, dan memasukkannya lewat hidung. Dari sinilah gagasan soal vaksin pertama-tama muncul.
Pada abad ke-18, seperti dilansir Time, fisikawan Inggris Edward Jenner mencatatkan perkembangan baru soal vaksin. Ia menyadari, para pemerah susu yang terpapar cacar sapi (cowpox), penyakit yang dapat ditransmisikan dari ternak ke manusia, akan terhindar dari infeksi cacar air ketika terjadi wabah lokal.
Cacar sapi berbeda dengan cacar air. Cacar sapi hanya menimbulkan gejala ringan, tetapi keduanya punya kesamaan dalam membangun kekebalan dari bentuk penyakit tersebut pada manusia.
Pada 1796, Jenner pun bereksperimen. Ia mengambil sampel virus cacar sapi dari bisul seorang pemerah susu bernama Sarah Nelmes. Untuk membuktikan hipotesisnya soal kekebalan tubuh terhadap virus ini, ia membuat sayatan kecil di lengan James Phipps, anak umur delapan tahun, dan memasukkan virus ini lewat luka tersebut. Hari itu, 14 Mei 1796.
Setelahnya, Jenner mencoba menginfeksi Phipps dengan virus cacar, tetapi Phipps tidak sakit. Dua tahun sesudahnya, Jenner memublikasikan hasilnya dalam sebuah buku. Pada 1801, kira-kira 100 ribu orang divaksinasi dengan metode yang sama.
Pengembangan vaksin lebih lanjut
Namun, pendekatan Jenner punya batasan, tidak semua virus penyakit pada manusia terdapat analognya (struktur virus yang mirip) pada hewan. Selain itu, tidak semua virus yang dimasukkan ke tubuh bisa memberikan kekebalan tanpa membuat manusia menjadi sakit.
Para ilmuwan lantas mendapati, ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama, membunuh virus atau bakteri dengan membiarkan fisiknya tetap utuh untuk mengajari tubuh soal bentuk patogen dan lantas membentuk kekebalan. Kedua, melemahkan virus sehingga tidak sampai membuat manusia sakit, tetapi dapat mengajari tubuh membangun imunitas.
Pada 1881 dan 1885, pakar biologi Louis Pasteur mengembangkan vaksin yang berhasil melawan anthrax dan rabies. Ia mengekspose patogen dengan oksigen dan panas untuk melemahkan, tetapi tidak membunuhnya. Jadi, tubuh bisa belajar membentuk kekebalan tanpa terserang penyakit.
Baca juga :
- 6 Wabah Mematikan yang Berhasil Diatasi dengan Vaksin
- Perhatikan 5 Hal Berikut Ini setelah Divaksinasi
Dengan pendekatan yang sama, pada awal abad ke-10 fisikawan Perancis Albert Calmette dan dokter hewan Camille Guerin mengembangkan vaksin tuberkulosis. Setelahnya, vaksin-vaksin lain terus dibuat, seperti untuk penyakit campak, gondok, dan rubela.
Meski begitu, ada risiko juga dari virus yang dilemahkan. Cara ini masih memungkinkan mutasi virus, dan pada kasus yang langka, bisa menyebabkan penyakit. Karena alasan itu, pada abad ke-19 dan ke-10 para peneliti mengembangkan vaksin kolera, pertusis (batuk rejan), influenza, dan lain-lain dengan mematikan patogen seluruhnya, baik dengan panas maupun formalin.
Terobosan vaksin polio dari Jonas Salk yang dibuat pada 1955 dibuat dari virus polio yang dimatikan dengan formalin. Versi vaksin ini oleh Albert Sabin yang dibuat pada 1962 menggunakan virus yang dilemahkan.
Sampai sekarang, cara-cara untuk mengembangkan vaksin supaya lebih aman dan efektif terus dieksplorasi. Termasuk dalam pembuatan vaksin untuk Covid-19, yang mewabah sejak akhir 2019 hingga saat ini.