Sejarah bagaimana bahasa Indonesia menjadi bahasa keseharian kita merentang panjang. Dari kisah perdagangan di Nusantara, deklarasi Sumpah Pemuda pada 1928, sampai proklamasi kemerdekaan pada 1945.

Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang digunakan penduduk Indonesia. Bahasa ini menyatukan rakyat dari 17 ribu pulau, 350 kelompok suku, dan 750 bahasa daerah. Bahasa yang berakar dari bahasa Melayu ini juga menjadi bahasa dengan penutur terbanyak keenam di dunia, setelah Mandarin, Inggris, India, Spanyol, dan Arab.

Sejak abad ke-7, bahasa Melayu dipergunakan secara luas di kawasan Asia Tenggara. Salah satu buktinya adalah penemuan prasasti di Palembang yang berasal dari masa sekitar 683 Masehi dengan bahasa Melayu. Hal tersebut tentu tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu, yang menguasai perdagangan di sekitar Pulau Sumatera. Bahasa Melayu pun menjadi bahasa ibu orang-orang yang berhuni di sekitar Selat Malaka, yang memisahkan Sumatera dari Semenanjung Malaysia. Orang-orang yang berlalu-lalang karena kepentingan perdagangan pun sedikit banyak lantas menggunakan bahasa Melayu.

Baca juga:

Kisah Bung Tomo, Sang Pengobar Semangat Pertempuran Surabaya

Kisah Kartini, Penentang Feodalisme dan Pejuang Kesetaraan Pendidikan

Orang-orang Muslim dari Arab dan Kristen dari Eropa pun memakainya dalam misi penyebaran agama. Sebagai lingua franca atau bahasa yang menjembatani komunikasi antargolongan, pedagang, dan kerajaan, bahasa Melayu pun diterima masyarakat yang lebih besar.

Bahasa Melayu kemudian digunakan secara lebih luas di Nusantara. Namun, tradisi ini paling kuat berkembang di Sumatera. Pada masa itu, muncul pula karya sastra dalam bahasa Melayu yang disebut hikayat. Sayangnya, karya-karya ini lantas hancur pada masa pendudukan Portugis sejak 1511.

Deklarasi bahasa persatuan

Pada abad ke-17, Indonesia berada di bawah kendali kolonial Belanda. Bahasa Melayu pun menjadi lingua franca yang juga diadaptasi orang-orang Eropa sebagai pengantar utama untuk berkomunikasi dengan pemerintah Hindia Belanda dan rakyat.

Pada perkembangannya, sentimen kepada kolonial lalu meruncing pada abad ke-20. Rakyat Nusantara membutuhkan sesuatu yang mengikat mereka sebagai bangsa. Versi bahasa Melayu yang distandarkan oleh pengguna di Nusantara, yang kemudian disebut sebagai bahasa Indonesia, lantas dijadikan pemersatu. Kesepakatan ini mendapatkan momentumnya pada 1928.

Pada 28 Oktober 1928, ketika pergerakan kaum nasionalis di Indonesia sedang berada pada puncaknya, Kongres Pemuda menghasilkan draf Sumpah Pemuda. Di sinilah bahasa ini dideklarasikan sebagai bahasa persatuan. Bunyinya, “Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Sejak Sumpah Pemuda, kedudukan bahasa ini terus dikukuhkan. Konstitusi yang dibuat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia ditulis menggunakan bahasa Indonesia dan menyatakan bahwa ini adalah bahasa nasional.

Presiden pertama Indonesia, yaitu Soekarno, alih-alih menggunakan bahasa asalnya, Jawa, memilih bahasa Indonesia—bahasa yang dipakainya di Riau. Pertimbangannya, jika bahasa Jawa yang dipilih, suku lain di Republik Indonesia bisa saja dikuasai orang Jawa, yang menjadi penduduk mayoritas. Bahasa Jawa juga lebih sulit dipelajari dibandingkan bahasa Melayu.

Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu juga punya sejumlah keunggulan. Penggunaannya tidak terbatas hanya di Indonesia. Pada waktu itu, Malaysia, Brunei, dan Singapura menggunakan bahasa Melayu. Peresmian bahasa ini menjadi bahasa nasional Indonesia bakal memupuk semangat patriotisme antar-negara tetangga di Asia Tenggara.

Sampai hari ini, hampir seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Di pulau mana pun kita berpijak, kita tetap bisa saling berkomunikasi dan merasakan semangat persatuan, seperti yang dahulu dideklarasikan para pemuda.

 

Baca juga:

Sejarah Hidup Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional