Ketika tim sepak bola sekolah mereka, SMA Geoje, yang selalu berada pada posisi buncit ditantang untuk menjadi lebih baik, Pil-sun dan Mi-na seperti mendapat angin. Bersama Se-hyeon (Jo Ah-ram), seorang pemandu sorak yang baru pindah dari Seoul, mereka pun sepakat untuk membentuk klub pemandu sorak mereka sendiri yang diberi nama Millennium Girls.
Baca juga: Hijack 1971, Drama Kemanusiaan di Tengah Pembajakan Pesawat
Awalnya hanya untuk menari dan mengekspresikan diri, klub ini kemudian berkembang menjadi tim pemandu sorak yang penuh semangat, berkompetisi, dan berjuang untuk membawa tim sepak bola SMA Geoje menuju kemenangan. Berhasilkan mereka?
“Milenium bug”
Victory mengambil setting waktu pada tahun 1999, ketika dunia tengah bergejolak mengantisipasi pergantian milenium. Film ini membawa penonton kembali ke masa di mana remaja masih menghabiskan waktu mereka di lapangan, bukan di depan layar gadget.
Di tengah derasnya arus digitalisasi saat ini, Victory menjadi pengingat akan pentingnya aktivitas fisik dan interaksi sosial langsung—dua hal yang semakin langka di kalangan remaja masa kini. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh media sosial dan kehidupan online, film ini menghadirkan kontras yang tajam dengan kehidupan remaja di akhir 1990-an, di mana semangat kebersamaan dan kerja keras lebih menonjol.
Baca juga: 18×2 Beyond Youthful Days, Perjalanan Memulihkan
Latar belakang film ini yang berfokus pada tahun 1999 juga memunculkan nuansa nostalgia yang kuat. Nama klub “Millennium Girls” mencerminkan optimisme yang menyelimuti dunia saat itu, ketika semua orang bersiap menyambut abad baru. Film menyinggung kekhawatiran besar pada masa itu terkait milenium bug (Y2K). Kekhawatiran bahwa sistem komputer akan gagal saat pergantian tahun 2000 menambah dimensi tersendiri dalam cerita, mengingatkan kita pada ketidakpastian dan kecemasan yang pernah ada.
Emosi di tengah komedi
Victory tidak hanya mengandalkan komedi untuk menghibur, tetapi juga memberikan momen-momen emosional yang mendalam. Hubungan antara Pil-sun dan ayahnya, seorang manajer galangan kapal yang berada di tengah dilema moral antara patuh pada pimpinan atau membela anak buahnya, menjadi salah satu titik emosional yang menonjol.
Konflik ini tidak hanya menggambarkan dinamika keluarga, tetapi juga kritik sosial yang relevan, menggambarkan dilema yang sering kali dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, Victory adalah lebih dari sekadar film remaja. Dengan latar belakang tahun 1999, film ini menggabungkan nostalgia dengan pesan-pesan yang tetap relevan hingga kini. Penampilan kuat dari para aktor utamanya serta cerita yang kaya akan emosi dan makna menjadikan Victory sebuah tontonan yang layak dinikmati. Film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang perubahan zaman dan nilai-nilai yang perlahan mulai terlupakan.
Apakah gambaran remaja dalam film ini sesuai dengan realita remaja menjelang pergantian milenium? Sangat mungkin, terutama dalam hal semangat kolektivitas dan antusiasme yang tinggi akan masa depan, meski dibayangi oleh kekhawatiran yang besar. Di tengah era digital seperti sekarang, kisah ini mungkin terasa seperti cerita dari dunia yang berbeda, namun tetap relevan sebagai pengingat akan pentingnya keseimbangan antara interaksi langsung dan digitalisasi.
Victory pertama kali diputar di New York Asian Film Festival pada 12 Juli 2024, di mana Lee Hye-ri menerima penghargaan “Rising Star Award”. Film ini kini sudah dapat disaksikan di layar lebar Tanah Air.
Review overview
Summary
7Kisah tentang sekelompok remaja di kota kecil yang ingin mengekspresikan diri sekaligus mewujudkan mimpi untuk menjadi yang terbaik.