SUMMARY
Ini bukan sekadar nostalgia. Ini tentang adab Jawa bertahan di tengah modernisasi dan hubungan anak dengan orangtuanya serta sebaliknya di zaman sekarang. Sebuah film tentang Bu Broto menjaga bisnis, karyawan, dan keluarganya.
Jenis Film | Drama, Serial |
Produser | Pandu Birantoro, Andi Boediman, Ifa Isfansyah, Robert Ronny |
Sutradara | Arwin Wardhana |
Skenario | Winston Halimi, Utiuts, Alim Sudio, Titien Wattimena, Jasmine Gabriel Winoto |
Pemeran | Mathias Muchus, Maudy Koesnadi, Ayushita, Baskara Mahendra, Febby Rastanty, Marthino Lio, Wulan Guritno, Sisca Saras, Erick Estrada, Augie Fantinus |
Rilisan | Netflix, Paragon Pictures, Ideosource Entertainment. |
- 29 Mei 2025
- 8 Episode
- 13+

Dalam film Losmen Bu Broto: The Series Deborah atau lebih dikenal Bu Broto (Maudy Koesnadi) adalah pusat gravitasi dari keluarga. Dia harus menjaga bisnisnya, mengayomi karyawan, dan merawat hubungan antaranggota keluarga dengan budaya khas Jawa di tengah arus zaman. Cerita dari Bu Broto inilah yang menjadi inti dari film yang tidak hanya membawa nostalgia, tetapi menyodorkan refleksi tentang adab, cinta, dan relasi keluarga budaya klasik yang dihadapkan pada perubahan zaman ini.Â
Bu Broto terlihat sibuk menyambut tamu yang silih berganti datang. Namun, tetiba terjadi kesalahan pada sistem pemesanan karena pemesan tidak terdaftar padahal sudah memesan. Tarjo (Baskara Mahendra) kemudian dianggap yang bertanggung jawab oleh Bu Broto dan Pak Broto (Mathias Muchus).Â
Perubahan ini dilakukan karena menurut Tarjo sistemnya harus diperbarui mengikuti zaman. Sayangnya, Sri (Febby Rastanty) menyalahkan Tarjo. Sedangkan, Pur (Ayushita) lebih memberikan solusi dengan melihat opsi kamar yang kosong.Â
Kisah berlanjut kala Tarjo yang ditekan untuk segera merampungkan kuliah dan tugas akhir, merasa lebih baik meneruskan bisnis losmen keluarga. Namun, tugas itu sejenak dilupakan kala dia tertarik dengan sosok perempuan independen yang jauh lebih tua, yaitu Anna (Wulan Guritno). Sayangnya, Anna sudah bersuami.Â
Tindak tanduk Tarjo pun mengganggu banyak orang. Dari pandangan keluarga yang pelan-pelan tahu dan jelas tidak pantas secara adab. Karyawan losmen pun menjadi bergunjing hingga tugas akhirnya yang seharusnya dikerjakan menjadi molor dan membuat jengah Sekar (Sisca Saras).Â
Bu Broto pun harus berjibaku kanan kiri. Masalah semakin banyak dengan Pak Broto yang tersandung masalah pidana, Pur yang menyendiri, Sri dan Suaminya yang ingin independen, hingga kinerja karyawannya Atmo (Erick Estrada) yang menurun karena jatuh cinta.Â
Pada akhirnya, Bu Broto harus bersikap tegas tentang Tarjo dan Anna, bernegosiasi dengan suami Anna, dan mempertahankan perannya sebagai ibu terhadap Pur dan Sri, sekaligus sosok perempuan pemimpin bisnis kepada karyawannya.Â
Baca juga:Â Review Film Jurassic World: Rebirth, Kembalinya Teror Dinosaurus
Karakter yang kompleks
Film Losmen Bu Broto: The Series melanjutkan cerita dari versi layar lebarnya di 2021. Tentu saja, versi teranyar ini membawa visual yang lebih segar dibandingkan versi aslinya yang populer pada 1980-an.
Jika merujuk pada versi layar lebarnya, serial film ini menyajikan narasi yang lebih dalam. Serial ini lebih dalam memperlihatkan berbagai pengembangan karakter dari setiap pemerannya. Menariknya, setiap karakternya punya kekhasan.
Bu Broto yang ditampilkan dominan dengan kebaya dan jarik serta sanggul, tampil dengan intonasi yang halus bahkan saat marah. Namun, di balik kesabaran dan kehalusannya itu, Bu Broto menerabas nilai-nilai budaya Jawa sebelumnya yaitu perempuan sebaiknya mengurus dapur dan anak. Bu Broto justru menjadi pemegang keputusan penting bagi bisnisnya.
Pak Broto berbeda lagi. Mathias Muchus yang di masa lalu memerankan Tarjo, kini berperan sebagai seorang bapak Jawa. Walaupun bukan sebagai pemimpin bisnis, tetapi dia menjadi penasihat bagi Bu Broto dan observer. Di sisi lain, dia harus menjadi seorang Bapak. Sayangnya, dia terlalu keras kepada anak laki-lakinya, tetapi berani pasang badan untuk keluarganya.
Lalu Pur dan Sri punya sifat yang bertolak belakang. Pur yang sangat njawani lebih suka ngutek di dapur dan lebih depresif semenjak kematian suaminya. Dia menutup diri semenjak kematian suaminya. Layaknya perempuan Jawa, kita akan dibuat kebingungan, apakah dia menerima cinta Partono (Augie Fantinus) atau tidak, sebab dia lebih memilih untuk menyimpannya dan tidak ingin menyakiti orang lain.
Sementara Sri yang sebenarnya didapuk menjadi penerus Bu Broto lebih memilih menjadi penyanyi. Sri bertolak belakang dengan Pur. Sri lebih berani bersuara kepada orangtuanya tentang keinginan untuk menentukan hidupnya sendiri, bahkan dalam hal mengurus anaknya. Sri juga lebih ingin mencapai kariernya, walaupun harus berpisah dengan suaminya Jarot (Marthino Lio) yang dapat residensi seni di Belanda.
Tarjo dan Anna yang menjadi pusat dari cerita ini jelas memperlihatkan karakter yang bertolak belakang. Tarjo yang ingin berdikari, tetapi harus tetap manut dengan kultur keluarga. Bapak yang keras membuat Tarjo kesulitan untuk menentukan keputusan. Sementara Anna, menjadi antitesis dari Bu Broto dan Tarjo. Anna cenderung bebas dan modern serta berani menabrak norma serta mengambil keputusan. Padahal, Anna sebenarnya rapuh dan kesepian.
Lalu, ada Atmo dan Yuni (Ninda Fillasputri) serta Ji Hae (Kim Hannah) yang menjadi side story dan ice breaker dari film ini. Mulai dari Atmo yang gemar menonton drama Korea sehingga lebih tertarik pada perempuan Korea. Sementara ada Yuni yang suka bergosip tetapi peduli pada temannya. Kisah mereka ini justru menguatkan bagaimana adab Bu Broto yang berempati pada karyawannya.
Baca juga: Review Film F1, Ketika Lintasan Balap Menjadi Panggung Penebusan Diri
Representasi budaya Jawa di tengah modernisasi
Film Losmen Bu Broto: The Series menjadi representasi budaya dan tradisi Jawa, yakni lebih mengedepankan roso atau “rasa”. Ini adalah sebuah konsep penting masyarakat Jawa yang masih dipegang hingga hari ini. Bagi orang Jawa, masalah “rasa” ini lebih selalu mempertimbangkan perasaan orang lain, bersolusi bukan dengan bentakan, menegur secara halus, dan menghindari mempermalukan orang lain.
Hal ini terlihat bagaimana Bu Broto menegur Tarjo, termasuk Anna walaupun dengan intonasi yang halus. Bu Broto juga memperlihatkan kondisi modern sekarang yang menerima titipan cucu saat orangtuanya sedang meniti karier.
Sementara Tarjo menjadi representasi anak muda masa kini. Walaupun tumbuh dalam budaya Jawa, Tarjo tumbuh dengan beban harapan dan nilai-nilai keluarga, tapi hidup di era di mana semuanya serba ekspresif dan cepat. Ia diminta menjadi sarjana, menuruti kehendak ayahnya, dan menjaga nama baik keluarga.
Kedekatan Tarjo dengan ibunya justru membuatnya “melenceng”. Dia tertarik pada figur perempuan yang jauh lebih dewasa, dominan, dan memegang kendali. Anna, versi dari Bu Broto tetapi lebih modern. Anna dekat dengan kehidupan glamor, tetapi penyuka seni tradisi. Hal ini membuat Tarjo terjebak antara nilai keluarga atau egonya.
Dalam psikologi populer, Tarjo dibaca sebagai bentuk ringan dari oedipus complex, yaitu tertarik dengan perempuan yang jauh lebih tua. Di film ini, Tarjo masih berumur sekitar 23 tahun, sementara Anna berumur 40 tahun.
Dalam budaya Jawa, cinta dan hubungan tidak sekadar persoalan rasa pribadi, tapi juga soal tata, waktu, dan tempat. Pacaran diam-diam masih bisa dimaklumi, tapi menjalin hubungan dengan perempuan bersuami adalah pelanggaran besar terhadap nilai ajining dhiri lan kulawarga (harga diri pribadi dan keluarga). Apalagi ketika perempuan itu jauh lebih tua, dominan, dan terbuka secara emosional serta seksual.
Di luar itu, Anna seakan memperlihatkan perlawanan dari tradisi Jawa. Mulai dari pulang malam bersama lelaki lain, kemudian berciuman dengan lelaki lain, masuk ke kamar lelaki, hingga berani memutuskan cerai.
Tarjo sadar dia menjadi pelarian Anna yang kesepian. Tetapi, dia juga menemukan sosok yang memberinya arah, keberanian untuk memilih, dan ruang untuk merasa diterima serta didengar, sesuatu yang sulit ia dapatkan dalam hubungan yang kaku dengan sang ayah dan ibunya yang sibuk dengan urusan pekerjaan.
Belum lagi urusan Sri yang ingin merasa bisa mengurus anaknya sendiri dan memutuskan segala aspek terkait keluarganya. Sri terlihat ingin lepas dari kukungan nilai Jawa keluarganya. Namun, justru inilah yang sepertinya ingin diperlihatkan, bahwa perempuan Jawa modern adalah seperti Sri.
Namun, dari seluruhnya, selain visual dan aksesoris Jawa, prinsip yang terlihat kuat di sini adalah bagaimana semua keluarga ini berusaha menjaga martabat dan tidak mempermalukan keluarga.
Mangan ora mangan, sing penting ngumpul
Ada yang menarik dalam film Losmen Bu Broto: The Series ini. Scene meja makan dan makan bersama kerap terlihat. Scene ini bukan dekorasi atau sekadar kosmetik.Â
Dalam budaya Jawa, makan bersama punya filosofi sendiri yang sangat dalam, yakni mangan ora mangan sing penting ngumpul. Berdasarkan artikel ilmiah Evan Tandywijaya di Jurnal Ilmu Budaya (2020) berjudul “Mangan ora Mangan, Sing Penting Kumpul” Tinjauan Filosofis “Aku dan Liyan” dalam Gagasan Togetherness Para Filsuf Barat, filosofi ini bukan sekadar anjuran kumpul, tetapi perwujudan cinta relasional antara “aku” dan “liyan” (yang lain atau biasa disebut liyane).Â
Dalam budaya Jawa, kebersamaan, bahkan ketika tidak ada yang dimakan sekalipun, menjadi ruang relasi untuk menghidupi keberadaan satu sama lain. Berdasarkan dari artikel tersebut, kehadiran orang lain di meja makan bukan hanya soal berbagi nasi, tetapi memberi ruang pada “kesadaran bersama” untuk hadir. Makan menjadi jembatan antarpribadi, meskipun ada konflik atau rahasia, keluarga di satu meja tetap terhubung batin satu sama lain.Â
Menjaga "rasa"
Film Losmen Bu Broto: The Series adalah sebuah gambaran budaya Jawa yang berusaha mengeksplor bentuk paling sehari-hari dan paling manusiawi. Nilai seperti perasaan batin, isin (rasa malu), unggah-ungguh (sopan santun), dan keselarasan tidak sekadar jadi tempelan. Namun menyatu dalam rangkaian seluruh 8 episode.Â
Ritual-ritual kecil seperti makan bersama, duduk berjajar, dan saling menahan diri saat konflik, memperlihatkan bagaimana budaya Jawa hidup melalui kebiasaan, bukan deklarasi. Di rumah Bu Broto, yang dijaga bukan hanya bangunan atau bisnis, tapi tatanan nilai yang diwariskan turun-temurun dan semuanya berpijak pada “rasa”.
Namun, tetap ada ruang untuk lebih baik. Akan lebih menarik, jika penggunaan bahasa Jawa lebih dieksplor. Mulai dari penggunaan bahasa jawa ngoko, madyo, dan kromo. Akan terasa lebih menarik jika Atmo menggunakan bahasa itu saat berbicara dengan keluarga Bu Broto. Lalu, secara perilaku anak-anak Bu Broto kepada orangtuanya secara perilaku Jawa tidak terlalu terlihat.Â
Di luar itu, penyelesaian emosional seperti diselesaikan secara terburu-buru di akhir. Karakter yang tenang ini justru kerap menampilkan film ini terlalu datar dan aman. Hentakan dramatisnya hanya saat kasus Pak Broto mencuat.Â
Namun, secara keseluruhan, film ini layak untuk menjadi tontonan keluarga, baik sebagai hiburan, edukasi tradisi, hingga pelajaran tentang keluarga serta semangat emansipasi. Film Losmen Bu Broto: The Series setidaknya mampu menghadirkan satu esensi budaya Jawa secara halus, yaitu “rasa”.Â
Review overview
Summary
8