Pada masa yang paling genting, kualitas sesungguhnya dari seseorang akan terlihat. Apakah sudah yakin pada sikap dan keputusannya. Padahal, ia sendiri masih terus diliputi keraguan, dan tidak tahu apakah keputusan yang diambilnya sudah tepat.

Situasi itulah yang dialami oleh perdana menteri kenamaan Inggris Winston Churchill. Pada 1945, dengan taktik Blitzrieg-nya, Jerman menyapu Belgia, Belanda, dan Luksemburg. Berikutnya, giliran Perancis yang akan diserbu. Inggris yang hanya dipisahkan Selat Dover dengan Perancis tentu menjadi sasaran berikutnya. Darkest Hour bercerita seputar periode awal serangan Jerman tersebut.

Film diawali suasana gedung parlemen Inggris yang riuh rendah menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Neville Chamberlain (Ronald Pickup). Ia dinilai terlalu lembek menyikapi agresi Jerman. Dalam hitungan hari, Perancis diperkirakan akan jatuh dan Chamberlain hanya berpikir untuk bernegosiasi dengan Hitler agar tidak menyerang Inggris. Tidak setuju dengan sikap tersebut, parlemen menuntut pergantian perdana menteri.

Foto – foto dokumen Universal Pictures Australia.

Pilihan yang ideal sebenarnya Viscount Halifax (Stephen Dillane) yang dekat dengan Raja George VI (Ben Mendelsohn) dan memiliki sikap senada dengan Chamberlain. Namun, untuk mengakomodasi permintaan oposisi, akhirnya diputuskan untuk memilih tokoh yang kontroversial, Winston Churchill (Gary Oldman).

Padahal, Churchill memiliki track record yang kurang bagus, antara lain dinilai gagal dalam pertempuran Gallipoli pada Perang Dunia Pertama, lalu keliru bersikap pada kasus turun tahta Raja Edward VIII. Ia diperkirakan akan menjadi pilihan sementara untuk kemudian diganti lagi.

Tetap teguh

Inti cerita film ini sederhana, apakah mau merundingkan perdamaian atau mau terus berperang dengan Jerman. Churchill bersikeras bahwa Inggris harus tetap berperang. Namun, taruhannya luar biasa karena kondisi pasukan perang Inggris kurang baik. Ratusan ribu prajurit Inggris yang tergabung dalam pasukan sekutu telah terdesak ke Dunkirk, sebuah kota pelabuhan di Perancis. Jika tidak segera dievakuasi, habislah kekuatan perang Inggris. Jerman akan mudah menyeberang lautan dan menyerang daratan Inggris.

Halifax dan Chamberlain berpendapat lain. Mereka khawatir, generasi muda Inggris tidak dapat melihat negara ini berdiri dan memiliki masa depan kalau hancur diserbu Jerman. Buat mereka, dalam kondisi demikian, perang bukanlah jawaban. Mereka lebih memilih untuk bernegosiasi. Namun, Churchill beranggapan tidak mungkin bernegosiasi dengan “monster” seperti Hitler.

Melalui film ini, penonton diajak untuk mengalami perasaan Churchill yang tertekan, bingung, dan ketakutan. Dia digambarkan seorang yang sangat emosional, tapi dia juga seorang yang begitu kukuh pada keyakinannya dan begitu bersemangat melakukan tugasnya. Pada jam-jam paling kelam, Churchill berdiam diri dalam kegelapan di kamarnya dalam keadaan tidak tahu harus berbuat apa.

Sebagai tontonan, film ini mampu menyuguhkan ketegangan dan suasana pergulatan batin Churchill. Hal itu juga tak terlepas dari kepiawaian aktor Gary Oldman membawakan karakter Churchill. Oldman yang aslinya tidak terlalu gemuk, di film ini menjelma menjadi sosok Churchill yang tambun dan kerap tampak kepayahan bernapas. Berkat perannya di film ini, Oldman meraih penghargaan pada ajang Golden Globe dan menjadi salah satu kandindat peraih Oscar. [ACA]

Sutradara :
Joe Wright

Skenario :
Anthony McCarten

Pemain :
Gary Oldman, Kristin Scott Thomas, Ben Mendelsohn, Lily James, Ronald Pickup, Stephen Dillane

Rilisan :
America Serikat

Tayang Perdana :
12 Januari 2018

Foto Dok Universal Pictures Australia.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Februari 2018