Film bertema kolonial sepanjang tiga jam lebih? Barangkali bukan tontonan yang menarik. Namun, tidak demikian dengan Bumi Manusia garapan sutradara Hanung Bramantyo. Durasi sepanjang itu bahkan terasa kurang.

Bukan apa-apa, film ini merupakan adaptasi dari karya legendaris bertajuk serupa dari pengarang kenamaan Pramoedya Ananta Toer. Novelnya aslinya cukup tebal dan merupakan yang pertama dari Tetralogi Buru, empat novel karya Pram semasa pembuangan di Pulau Buru.

review film bumi manusia

Pada masanya, novel-novel ini dilarang. Namun, kini sudah dapat dinikmati secara bebas. Bahkan, novel-novel ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan diakui sebagai karya sastra bermutu tinggi.

Kepiawaian Pram mengemas sejarah dan problematika anak zaman menjadi kekuatan novel-novelnya. Itu pula yang menjadi masalah saat diangkat ke layar lebar. Durasi tiga jam tidak akan cukup untuk menghadirkan seluruh kekayaan novel sehingga sutradara dan penulis skenario harus memutuskan untuk menentukan fokus film.

review film bumi manusia

Bumi Manusia versi film ini fokus pada kisah cinta Tirto Adhie Soerjo alias Minke (Iqbaal Ramadhan) dan Annelies Mellema (Mawar De Jongh). Minke adalah pemuda pribumi, Jawa totok. Sementara Annelies, gadis Indo Belanda anak seorang nyai—sebutan untuk gundik.

Minke jatuh hati pada Annelies, perasaan yang membuatnya mengalami pergulatan batin tak berkesudahan. Ayahnya yang baru saja diangkat jadi bupati jelas tak setuju Minke dekat dengan keluarga Nyai. Sebab, posisi Nyai pada masa itu dianggap sama rendah dengan binatang peliharaan.

Namun, Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti), ibunda Annelies, berbeda. Ia pintar walau tak pernah mengenyam pendidikan. Ia juga mampu mengelola bisnis tuannya serta memiliki sikap dan pendirian tegas yang tidak lazim pada seorang nyai.

Kolosal

Harus diakui, seluruh pihak yang terlibat dalam film ini untuk mewujudkan visi Pram pada novelnya telah bekerja sangat keras. Dari pembuatan set dan pemilihan aktor, termasuk hadirnya orang-orang Belanda asli, semua tidak tanggung-tanggung. Hanung berhasil menghadirkan Indonesia akhir abad ke-19 di depan mata.

Namun, seperti disebutkan, pemilihan plot pasti tidak akan lepas dari pro-kontra. Keputusan untuk fokus pada romansa Minke dan Annelies memang banyak “mengorbankan” detail-detail, utamanya seputar perkembangan karakter Minke. Dari semula yang sangat memuja Eropa hingga menjadi lebih “nasionalis”.

review film bumi manusia
FOTO-FOTO FALCON PICTURES

Namun, rasanya hal itu dapat dimaklumi dengan pertimbangan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Dan, boleh dibilang film ini sukses untuk membawa nama Pram dan karya-karyanya ke benak kaum milenial. Langkah ini patut diapresiasi dan dapat diikuti untuk lebih menukik lagi pada berbagai problematika yang diceritakan Pram pada novel-novel berikutnya.

Tidak dapat dimungkiri, Iqbaal menjadi jangkar untuk menarik fans fanatiknya dari kaum milenial. Dan, menonton film ini boleh jadi membuat canggung karena karakter film sebelumnya hampir begitu identik dengan Iqbaal.

Sementara itu, karakter Nyai Ontosoroh yang unik dengan gemilang dibawakan oleh Sha Ine Febriyanti. Begitu kuat sehingga banyak yang menilai bahwa Nyai Ontosoroh telah menjadi karakter utama film ini.

Sebagai tontonan, Bumi Manusia sepanjang tiga jam tetap menghibur dan boleh jadi membikin “baper”. Jika ingin menikmati roman dalam balutan suasana dan di tengah konflik kolonial, Bumi Manusia wajib Anda tonton.

Sutradara:
Hanung Bramantyo

Produser:
Frederica

Penulis:
Salman Aristo; berdasarkan novel karya Pramoedya Ananta Toer

Pemain:
Iqbaal Ramadhan, Mawar De Jongh, Sha Ine Febriyanti, Donny Damara, Ayu Laksmi, Bryan Domani, Giorgino Abraham, Chew Kin Wah

Rilisan:
Indonesia

Durasi:
181 menit

Tayang perdana:
15 Agustus 2019