Foto-foto: Iklan Kompas/ Iwan Andryanto

Jika para perempuan ingin melakukan sesuatu yang menantang, ini boleh dicoba: menerima dan berdamai dengan tubuh sendiri. Hal yang terdengar sederhana itu, bagi banyak perempuan, bisa jadi begitu sulit. Lewat bukunya Imperfect: A Journey to Self-Acceptance, Meira Anastasia, penulis naskah sekaligus istri sutradara Ernest Prakasa ini, berbagi cerita soal perjalanannya menuju penerimaan diri.

Tuntutan bagi para perempuan untuk tampil “sempurna” dilancarkan lewat berbagai media, iklan, bahkan dalam obrolan-obrolan ringan. Siapa yang tidak terpengaruh citra bahwa perempuan cantik itu yang berkulit putih, berperut rata, berwajah merona, atau berbadan ramping? Ada, tapi tidak banyak. Celakanya, citra-citra yang digencarkan terus-menerus itu menjadi “serangan” yang harus diterima para perempuan.

Para perempuan yang merasa dirinya kurang ideal atau sempurna itu pun lama-lama terlatih untuk membenci diri sendiri. Perut terlalu buncit, lengan terlalu besar, payudara kurang kencang, wajah kurang mulus, dan sederet daftar panjang lain yang bisa kita buat. Dari sinilah muncul rasa tidak nyaman dan aman (insecurity) atau citra tubuh negatif (negative body image). Efeknya tentu saja merusak, baik untuk tubuh maupun pikiran.

Hal-hal itulah yang menjadi bahasan dalam buku Imperfect: A Journey to Self Acceptance. Meira berbagi pengalaman pribadinya. Ya, perempuan ini mengalami perjalanan yang tidak mudah dalam proses penerimaan diri. Menjadi istri seorang tokoh publik seperti Ernest Prakasa, perhatian publik, terlebih warganet, juga sering mengarah kepada Meira. Ia sering mendapatkan komentar-komentar tak menyenangkan. Pada salah satu foto yang diunggah Ernest di akunnya, seseorang berkomentar, “Ternyata, orang cakep belum tentu istrinya cantik!” Komentar itu membekas dalam di benak Meira.

Meira makin merasa, ekspektasi orang-orang tentang seorang istri orang terkenal seperti Ernest jauh dari dirinya. Ia berambut pendek, berkulit gelap, jarang memakai kosmetik, dan memiliki bentuk tubuh tak lagi ideal setelah memiliki dua orang anak. Selama beberapa waktu Meira terobsesi untuk bertubuh lebih ramping dan berpayudara lebih kencang.

Bab yang berjudul “Prahara Payudara” menjadi salah satu bagian yang paling menarik karena ceritanya yang membuat simpati sekaligus terasa betul lebih sulit ditulis ketimbang bagian lain. Meira harus membuka diri kepada para pembacanya tentang hal yang tak mudah.

Menulis Imperfect: A Journey to Self Acceptance, diakui Meira, membuka kembali banyak luka. “Tetapi, dengan mengakui luka, aku jadi bisa belajar bagaimana mengatasinya. Juga belajar menjadi lebih kuat lagi,” katanya dalam sinopsis buku ini.

Membaca buku ini seperti mendengarkan cerita seorang sahabat. Meira menjadi teman bicara yang jujur mengungkapkan kegelisahan dan kerentanannya dengan bahasa tutur yang luwes dan benar-benar santai. Ilustrasi yang jenaka menambah keseruan membaca cerita-cerita ini. Buku ini juga dilengkapi dengan panduan kecil berolahraga di rumah agar lebih sehat dan bahagia, seperti yang rutin dilakuan Meira.

Jika kita, para perempuan–atau barangkali juga lelaki–pernah merasa tidak nyaman dengan tubuh dan menuntut diri sendiri terlalu keras untuk tampil “sempurna”, buku ini layak ada di dalam genggaman kita. Siapa tahu, kita bisa tertular Meira, mengubah kacamata negatif tentang tubuh itu menjadi positif.

Imperfect: A Journey to Self Acceptance

Penulis :
Meira Anastasia

Tahun terbit :
2018

Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama