Demi menjadi produktif, kerap kali kita merasa jenuh dengan rutinitas keseharian. Tidak jarang juga merasa jengah dengan berbagai tuntutan yang kerap hadir dalam kehidupan. Dunia yang berkembang pesat ikut mendorong naiknya permintaan akan keahlian yang semakin beragam.

Hal itu membuat banyak orang menyibukkan diri untuk mengembangkan kapasitas diri. Bahkan tidak jarang di antaranya banyak yang terlalu “riuh” dengan diri sendiri untuk memacu produktivitas hingga lupa menyeimbangkan dengan hal lainnya.

Situasi seperti itu cukup banyak ditemukan pada para mahasiswa yang sedang menyusun rencana hidup ke depan. Terlalu banyak kegiatan yang diambil pada satu waktu acap menimbulkan gesekan satu sama lain. Sekarang tak sulit menemukan mahasiswa yang mengikuti kuliah, organisasi, kepanitiaan, kerja, bahkan kegiatan lainnya dalam satu periode.

Jika dilihat sekilas kondisi tersebut bukanlah hal buruk. Namun, jika dibiarkan tanpa penyeimbang akan menimbulkan kondisi toxic productivity. Menurut Dr Julie Smith, psikolog klinis asal Inggris, toxic productivity adalah kondisi seorang yang berkeinginan agar terus produktif setiap waktu. Hal yang perlu ditekankan adalah keinginannya dalam setiap waktu. Padahal seorang pembelajar atau pekerja juga memerlukan waktu untuk beristirahat sejenak dari segala tuntutan yang menyita waktu.

Keinginan ini “beracun” karena membuat kita terus memaksa diri tanpa henti untuk melakukan sesuatu. Bahkan tidak peduli seberapa produktif kegiatan yang telah kita lakukan, terus muncul perasaan bersalah dan merasa kurang produktif. Inilah yang membuat produktivitas  tidak selalu baik, yaitu ketika ia telah menjadi siklus berancun (toxic) yang membuat kita tidak ingin lepas. Tentunya, ini berdampak pada kesejahteraan diri kita (well-being).

Menyeimbangkan hidup

Toxic productivity juga muncul saat kita terlalu sibuk, stres, dan tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan pekerjaan sejenak atau beristirahat demi memenuhi ekspektasi diri yang tidak realistis. Jika berhenti akan timbul perasaan bersalah dan ketika dilakukan justru membuat kita tidak menikmati produktivitas tersebut.

Banyak orang yang mengalami hal itu. Khususnya sejak masa pandemi yang membuat pembelajaran dan pekerjaan menjadi daring sehingga lebih fleksibel mengerjakan berbagai hal dalam satu waktu.

Akan tetapi kondisi itu masih dapat diatasi dengan menyeimbangkan hidup (work life balance) antara waktu kerja dan waktu personal atau istirahat. Caranya, dengan mengatur batasan yang jelas di antara keduanya.

Contohnya, dengan mengatur waktu. Ambillah waktu personal untuk melakukan hal-hal ringan yang menyenangkan, seperti jalan-jalan di taman, tidur, meditasi, menonton, atau membaca buku agar tidak ada waktu kosong yang memicu keinginan untuk terus bekerja.

Dalam tayangan di BBC, Dr Julie Smith mengatakan bahwa kita sama seperti manusia lain yang juga perlu istirahat dan merawat diri. Keduanya penting dan tidak dapat dinegosiasikan ketika sudah waktunya.

Namun, yang paling penting dan mendasar adalah membangun pemahaman dalam pikiran bahwa tidak ada yang salah dengan beristirahat sejenak untuk kemudian dapat kembali melanjutkan produktivitas dengan energi yang lebih optimal. Jadi, menjadi produktif tentu sangat baik. Namun, ketika produktivitas itu justru tanpa henti, di situlah masalah timbul.

Baca juga : 5 Alasan Gaya Hidup Minimalis Bisa Membuatmu Lebih Produktif