Pukul 3 pagi, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), masih dibekap kegelapan. Dari balik tirai kamar hotel, Jalan Sultan Hasanuddin masih tampak senyap, apalagi gerimis baru saja membilasnya. Namun, sekitar 7 kilometer arah barat dari jalan itu, ratusan kapal nelayan sudah merapat di Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere atau PPI Paotere.

Sabtu pagi di pengujung Desember lalu, kerlip-kerlip lampu kapal memberi tanda hari baru sudah dimulai. PPI Paotere telah menggeliat, dipenuhi nelayan, pedagang ikan, dan calon pembeli.

Acung (13), tak membiarkan keramaian ini. Kaki kecilnya yang telanjang langsung melompat ke dalam sebuah kapal motor sepanjang 12 meter. Ia segera mengangkat beberapa keranjang penuh ikan dan membawanya kepada seorang pengepul yang menunggu di dermaga.

Di kapal yang lain sama pula. Beberapa orang secara estafet membongkar muatan ikan dan memindahkannya ke dermaga. Ukuran ikan sangat beragam, mulai dari sekecil teri hingga sebesar bantal.

Acung tak sendirian. Pagi itu ada sekitar 15 anak seusianya yang bekerja sebagai buruh angkut ikan dari kapal-kapal nelayan. Nama Acung sebenarnya hanya panggilan saja. Saat ditanya nama asli dan tempat tinggalnya, ia enggan mengaku.

“Malu bila bu guru dan teman-teman tahu,” jawabnya. Ia malu sebab sudah tak pergi ke sekolah sejak naik kelas lima sekolah dasar. “Sejak ayah pergi tak ada lagi yang kasih uang buat sekolah,” ucapnya.

Pergi? Tanya saya. “Iya, ayah pergi dengan ammak (ibu) yang lain,” sambungnya. Sejak itu, kira-kira setahun lalu, setiap pagi Acung selalu datang ke PPI ini. Selain bekerja sebagai tukang angkut, ia juga berperan sebagai penyiram air untuk membersihkan ikan-ikan.

Setiap kali ada pedagang ikan yang memanggilnya untuk membersihkan ikan, ia bergegas menenteng dua buah ember plastik kecil, kemudian menciduk air laut dan menyiramkannya ke dalam keranjang-keranjang berisi ikan segar. “Biar pasirnya (yang masih menempel) hilang,” ujarnya.

Sebagai upah untuk dua-tiga kali menyiram keranjang ikan, Acung mendapat seekor ikan kecil, kira-kira panjangnya 15 sentimeter. Jumlah ikan yang ia dapat dalam sehari tergantung seberapa banyak pedagang ikan yang memakai tenaganya.

“Kalau dibayar dengan ikan saya kumpulkan dulu, setelah dapat 5 ekor baru saya jual lagi,” katanya.

Cara Acung menjual ikan-ikan yang ia dapat seperti pedagang ikan lainnya, yakni menata di atas alas plastik dengan memanfaatkan tempat yang masih longgar.

“Harga jual lima ekor ikan sekitar 10 ribu rupiah sampai 15 ribu rupiah, tergantung besar kecilnya,” ucapnya.

Uang hasil jual ikan untuk apa? Tanya saya lagi. “Untuk beli kopi agar hangat kita punya badan. Sisanya disimpan,” ujarnya.

Ingin sekolah lagi, nggak? “Belum tahu, karena sepertinya lebih enak kerja di PPI,” tukasnya.

Pagi itu, sejumlah anak usia sekolah tampak meningkahi pikuknya PPI Paotere. Sama seperti Acung, mereka bekerja membantu membongkar muatan nelayan dan menyiramkan air pada tumpukan-tumpukan ikan.

Ahmad (40), pedagang ikan asal Panampu yang sudah lama berjualan di PPI Paotere, mengaku biasa melihat anak-anak itu. “Mereka sebenarnya ada yang bersekolah tapi karena mungkin keenakan dapat uang jadi putus sekolah. Prihatin juga melihat keadaannya,” ungkapnya.

Setelah hari menyala terang, anak-anak itu mulai menyingkir bersama melambatkan kegiatan transaksi ikan. Tak banyak orang yang tahu kemana mereka pulang atau pergi. Esok hari, saat PPI Paotere mulai berdenyut, tubuh-tubuh kecil itu akan berdatangan kembali.

Guna menarik kembali anak-anak usia sekolah yang terlanjur menjadi buruh di PPI, otoritas setempat sebenarnya bisa membuat kelompok atau grup belajar informal yang disesuaikan dengan lingkungan, termasuk mengajak relawan sebagai pengajar dan menyediakan fasilitasnya.

Adanya grup belajar di lingkungan seperti itu, paling tidak bisa mengondisikan lagi anak-anak ke dalam atmosfer sekolah secara perlahan, longgar, dan persuasif. Sebelum kelak mereka dikembalikan pada sekolah-sekolah formal yang dapat memberikan pendidikan secara murah.

Harga ikan

Potensi perikanan Paotere cukup besar. Sebagaimana ditulis Kompas, 14 Januari 2022, di Sulawesi Selatan terdapat 14 PPI/TPI yang tersebar di kabupaten/kota. PPI di Kota Makassar menjadi salah satu yang ramai dengan produksi ikan yang tinggi.

Menurut Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, produksi perikanan laut dari 14 TPI/PPI tersebut sebesar 542.078.490 kilogram pada 2019. Nilai produksinya mencapai Rp 1.170 miliar rupiah.

Sementara, menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulsel, pada semester pertama 2023 lalu, PPI Paotere Kota Makassar memproduksi 105 ton ikan dengan nilai produksi Rp 4,5 miliar.

Abbas, pedagang ikan dari Pulau Kodingareng, menyebutkan, hasil budidaya ikan darat yang mendominasi PPI Paotere adalah bandeng. Ikan ini banyak datang dari beberapa kabupaten di Sulsel, seperti Barru, Pangkep, Maros, dan Luwu Raya. Sedangkan ikan laut yang banyak ditangkap nelayan selama bulan Agustus misalnya, yakni sinrili, layang, banyara, dan tembang.

Dia juga mengatakan, jumlah kapal motor yang setiap hari lalu-lalang membawa ikan di PPI ini sebanyak 1.200-an unit. Mereka datang dari Balikpapan, Samarinda, dan Kendari. Ada juga nelayan yang mengaku berasal dari Pulau Barang Lompo, Pulau Barang Caddi, Pulau Sarappo Lompo, dan Pulau Sarappo Caddi.

Namun, dari antara sekian banyak nelayan, tak sedikit pula yang hanya bekerja sebagai buruh pada seorang juragan atau pemilik kapal.

“Banyak nelayan dari provinsi lain yang menjual ikan di sini karena harganya lebih tinggi. Jika tidak musim angin banyak ikan, biasanya mulai bulan Juli atau Agustus. Kalau bulan Desember atau Januari, nelayan banyak datang dari Kendari karena di sana sedang musim ikan,” imbuh Abbas.

Untuk harga ikan sangat dipengerahui musim atau cuaca. Bila cuaca sedang tak bersahabat, ikan kakap bisa naik dari Rp 25 ribu per ekor menjadi Rp 35 ribu sampai Rp 45 ribu per ekor. “Bandeng dari Rp 25 ribu per enam ekor menjadi Rp 35 ribu per enam ekor, bisa juga lebih mahal. Kalau cakalang biasanya jadi Rp 17 ribu per ekor dari Rp 10 ribu,” kata Abbas.

Pembeli yang berebut ikan tangkapan nelayan ini bukan hanya pedagang ikan eceran yang biasa menjual kembali ikan-ikan ini di pelosok-pelosok kampung, melainkan para pengelola rumah makan besar di Makassar.

“Beli ikan di sini bisa lebih murah sekitar 10 ribu rupiah dibanding jika sudah dijual di pasar umum,” kata Budi, pemilik sebuah restoran di pusat Kota Makassar.

Untuk kelas rumah makan, kualitas ikan yang dipilih adalah yang terbaik. Ikan-ikan kualitas atas ini kebanyakan disisihkan lalu diperam dalam es agar awet beberapa hari. Ada pula pembeli yang sengaja memborong jenis-jenis ikan tertentu untuk diawetkan menjadi ikan asin.

PPI Paotere bisa menjadi potensi wisata yang menarik jika dikelola dengan lebih baik. Contohnya dengan memperbaiki sarana bagi pengunjung dan pedagang serta secara rutin membersihkan sampah yang masih banyak terserak di sana-sini.

Baca juga: Ikan Hias Air Tawar Bernilai Tinggi