Natal dan pohon cemara adalah pemandangan yang lumrah. Meski tak ada kewajiban merayakan dengan pohon natal, keduanya sudah kadung menjadi tradisi. Yang penting dari perayaan Natal adalah niatan berbela rasa dengan kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan. Ada beberapa kisah seputar pohon yang juga disebut dengan pohon terang ini, diolah dari sejumlah literasi.

Bangsa Jerman kuno

Musim semi amat dirindukan kedatangannya oleh sebagian bangsa di dunia. Musim ini dianggap menjadi tahapan penting untuk memulai kehidupan baru dengan bercocok tanam, menggembalakan ternak, dan sebagainya. Bangsa Jerman kuno dipercaya memiliki tradisi memasang batang pohon beserta ranting dan dedaunan sebagai simbol pengharapan agar musim semi lekas datang.

Tatkala bangsa Jerman bermigrasi ke benua Amerika, mereka pun mencari jenis pohon yang dianggap mampu melewati berbagai kondisi musim. Dipilihlah pohon cemara. Tradisi menantikan datangnya musim semi pun berlanjut dengan memasang pohon cemara. Simbolisasi ini biasa dilakukan saat musim dingin tiba di akhir tahun.

Setelah kekristenan menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Eropa dan Amerika, perayaan Natal pun membaur dengan tradisi lokal. Natal yang diyakini sebagai lahirnya harapan atau datangnya terang, selalu dirayakan pada musim dingin. Penantian akan musim semi dan lahirnya harapan kemudian menjadi identik. Oleh sebab itu, pohon cemara pun banyak dipasang dan menjadi bagian dari perayaan Natal.

Cerita lain menyebutkan, pada 1846, Ratu Victoria dan Pangeran Albert yang berdarah Jerman, digambarkan tengah bergembira bersama kedua anaknya di sekeliling pohon yang dihias beragam pernak-pernik. Ini segera menjadi tren rakyat Inggris sebab Ratu Victoria dikenal dekat dengan rakyatnya.

Jenis-jenis pohon

Masyarakat di benua Amerika dan Eropa memajang ornamen natal dengan memilih beberapa jenis pohon. Di Amerika, warga yang merayakan Natal biasanya memilih pohon Balsam Fir (Abies balsamea), Fraser Fir (Abies fraseri), Grand Fir (Abies grandis), Noble Fir (Abies procera), Red Fir (Abies magnifica), Douglas Fir (Pseudotsuga menziesii), Scots Pine (Pinus sylvestris), dan Stone Pine (Pinus pinea).

Adapun masyarakat Eropa yang menyemarakkan Natal biasanya memakai pohon Silver Fir (Abies alba), Nordman Fir (Abies nordmanniana), Noble Fir (Abies procera), Norway Spruce (Picea abies), Serbian Spruce (Picea omorika), dan Scots Pine (Pinus sylvestris).

Pada mulanya, pohon yang digunakan adalah cemara atau pinus asli. Namun, seiring kampanye perlindungan lingkungan, penebangan pohon semakin dikurangi dan pernik natal cukup menggunakan pohon tiruan. Pohon buatan juga lebih mudah disimpan dan hemat.

Di India, masyarakat yang merayakan Natal malah lebih memilih pohon mangga atau pisang. Ini menyesuaikan vegetasi lokal. Sementara di Indonesia, perayaan Natal juga kerap menghadirkan dekorasi selain cemara, misalnya pohon pisang, padi, dan tanaman palawija. Apapun jenis pohonnya tak jadi soal, yang penting makna Natal tidak menyimpang.

Perdebatan

Penggunaan pohon sebagai pelengkap perayaan Natal juga tak lepas dari perdebatan. Bagi masyarakat yang merayakan Natal tapi tak sepakat dengan dekorasi ini berpendapat, pemasangan pohon seperti itu bertujuan untuk menghormati dewa matahari. Bahkan di masa lampau, Pemerintah Jerman pernah melarang pemajangan cemara sebagai manifestasi pohon natal.

Sedangkan kalangan yang setuju menganggap, pemasangan pohon berikut perhiasannya “sekadar” mengingatkan bahwa senantiasa ada harapan dan kegembiraan untuk memulai hidup di tahun yang baru. Setidaknya, ada ornamen yang berbeda di sekitar rumah.

Selamat merayakan Natal. [*]

Baca juga5 Ide Seru Rayakan Natal di Rumah