Photobox atau photo booth bukanlah tren baru dalam dunia fotografi. Sejak kemunculannya di akhir abad ke-19, photobox telah menjadi bagian dari budaya populer di berbagai belahan dunia.

Meski sempat tenggelam oleh perkembangan teknologi, eksistensinya justru kembali menguat dengan sentuhan modern. Kini, bilik-bilik foto yang tersebar di berbagai sudut kota tak pernah sepi. Suara gelak tawa anak muda yang mengabadikan momen seru bersama orang-orang terdekat selalu menggema di dalamnya.

Asal Mula Photobox

Awalnya, photobox hadir sebagai inovasi teknologi yang mempermudah proses pengambilan foto secara otomatis. Pada tahun 1889, William Pope dan Edward Poole mendapatkan paten photobox pertama di Baltimore. Namun, versi pertama yang benar-benar bekerja datang dari penemu asal Perancis, TE Enjalbert, yang memperkenalkannya di World’s Fair Paris di tahun yang sama. Meskipun memerlukan banyak tenaga manusia, mesin ini menjadi cikal bakal lahirnya booth otomatis.

Baru pada tahun 1925, konsep photobox modern diperkenalkan oleh Anatol Marco Josepho dengan mesin ciptaannya, Photomaton. Mesin ini menjadi populer secara instan dan digunakan oleh ratusan ribu orang di New York.

Perjalanan teknologi photobox berlanjut dari masa kejayaan di tahun 1930–1950an, masa surut karena kamera pribadi dan Polaroid pada 60–80an, hingga bangkit lagi di era digital 2000-an lewat booth dengan kamera DSLR dan cetak instan. Namun, tak hanya teknologinya yang berkembang. Fungsi dan daya tarik photobox pun ikut berubah, mengikuti kebutuhan zaman dan budaya pop. Setelah pandemi, photobox kembali naik daun dengan daya tarik yang baru.

Dari Foto Paspor hingga Purikura

Photobox hadir dalam berbagai bentuk dan fungsi. Di berbagai negara, terutama Eropa, yang paling sering ditemukan adalah passport photo booth yang digunakan untuk foto formal. Booth jenis ini mudah ditemukan di tempat-tempat umum, seperti di stasiun kereta bawah tanah. Selain opsi foto paspor formal, desain bingkai bergaya klasik serta animasi kartun juga tersedia di booth ini, meskipun tidak terlalu bervariasi.

Mesin passport photo booth di stasiun kereta bawah tanah. (FOTO SHUTTERSTOCK/FABRIQUE IMAGIQUE)

Ada pula purikura, photobox khas Jepang dengan fitur stiker, dekorasi digital, dan opsi edit wajah yang imut. Ciri khasnya terletak pada filter yang mampu memperbesar ukuran mata serta memuluskan wajah. Photobox ini sangat populer di kalangan remaja Jepang pada awal 2000-an. 

Di Indonesia, pada tahun 2000-an mesin photobox dapat ditemukan di pusat perbelanjaan, terutama di tempat percetakan foto. Beberapa mesin beroperasi secara otomatis, tetapi banyak juga photobox konvensional yang dioperasikan oleh staf dan dilengkapi properti lucu seperti wig, kacamata, dan latar yang bisa dipilih. 

Masuk era 2010-an, photo booth mulai menjadi hiburan di berbagai acara seperti ulang tahun, pernikahan, atau event kantor. Bentuknya tidak berupa bilik, melainkan set terbuka dengan backdrop, kamera, mesin cetak, dan operator. Jasa foto seperti ini bisa disewa sesuai tema acara dan jadi daya tarik tersendiri bagi para tamu.

Saat ini, tren photobox telah kembali. Mesinnya kini dilengkapi dengan fitur-fitur canggih, seperti kamera DSLR, pencahayaan profesional, green screen, hingga kemampuan untuk mengunggah langsung ke media sosial. Ada juga aplikasi ponsel serta situs photobox interaktif yang bisa diakses di mana saja, serta vintage photobox berbasis film yang kembali naik daun karena menimbulkan kesan nostalgia.

Semakin Populer Pasca-pandemi

Tren photobox kembali meledak di awal 2020-an, terutama berkat pengaruh budaya pop Korea Selatan. Di Seoul, studio photobox menjamur di tiap sudut kota dan menjadi destinasi wajib bagi anak muda. Interiornya dibuat tematik dan penuh properti lucu. Photobox ini juga kerap menawarkan pilihan frame dan efek lucu. Pengunjung pun dapat terlihat seolah-olah “berfoto” dengan artis K-Pop atau karakter anime favorit mereka dengan pilihan frame yang tersedia.

Selain tampilannya yang instagrammable, teknologi di baliknya juga semakin canggih. Photobox kini semakin terintegrasi dengan media sosial dengan menyediakan kode QR untuk mengunduh versi digital. Beberapa tempat bahkan menyediakan fasilitas cermin yang dilengkapi dengan aksesoris dan alat pengeriting dan catok rambut, memberikan pengalaman yang maksimal bagi pengunjung.

Jadi Destinasi Nongkrong

Fenomena photobox kembali merebak di Indonesia, terutama sejak berakhirnya pandemi, dengan format terbarunya yang bermunculan di berbagai kota besar. Kafe dan restoran pun menjadikannya sebagai daya tarik utama untuk menarik pengunjung.

Bagi anak muda, photobox kini menjadi agenda wajib setiap kali nongkrong. Mereka sengaja mencari tempat yang menyediakan booth lucu atau bertema unik, baik untuk dijadikan konten Instagram maupun untuk menambah koleksi photostrip. Hasil foto juga sering kali menghiasi bagian belakang ponsel atau menjadi gantungan kunci.

Di Jakarta, kawasan seperti Blok M dan Senopati menjadi destinasi favorit untuk berburu photobox. Sebut saja booth dengan kamera wide atau high-angle, bertemakan hotel, hingga yang terinspirasi dari film. Ragam pilihan booth yang tersedia membuat pengunjung rela mengantre panjang, terutama di akhir pekan, demi mengabadikan momen. Banyak dari mereka bahkan memiliki koleksi ratusan strip foto yang tersimpan rapi di pouch ataupun album foto khusus.

Photobox kini bukan sekadar tempat untuk mengambil gambar. Fenomena ini memperlihatkan bahwa photobox telah berevolusi dari sekadar mesin cetak otomatis menjadi medium ekspresi diri dan nostalgia, sekaligus bentuk hiburan yang memberikan kebahagiaan sederhana di seluruh dunia.

Baca juga: Gen Z dan Bangkitnya Popularitas Kamera Pocket Digital