Negara yang dikaruniai tanah luas nan subur untuk bercocok tanam acap mengandalkan pesawat terbang ringan untuk mengelola pertanian atau perkebunannya. Brasil, Kuba, dan Thailand adalah beberapa contoh yang sudah menerapkan teknologi dirgantara untuk pertanian sejak tahun 1960-an.

Namun, sekitar dua dasawarsa sebelumnya, Amerika Serikat (AS) sebenarnya telah lebih dulu menggunakan pesawat untuk mendukung sektor pertaniannya. Kala itu, AS mengalami kecukupan produksi pesawat kecil untuk keperluan perang.

Persoalannya, AS malah menarik diri dari palagan Perang Dunia I dan menjadi terlihat lebih netral. Akibatnya, pesawat-pesawat untuk perang tadi lebih banyak menganggur. Agar tak merugi, pesawat-pesawat tempur kecil itu dikaryakan di lahan pertanian.

Di samping itu, AS memiliki lahan pertanian yang cukup luas sehingga mesin-mesin pertanian yang tersedia saat itu kurang efektif penggunaannya. Pesawat-pesawat perang yang telah diubah menjadi armada pertanian itu kemudian berfungsi untuk penyiraman lahan dan penyemprotan hama tanaman.

Indonesia juga sejak lama telah memanfaatkan pesawat untuk keperluan pertanian nasional. Pemerintahan Orde Baru pernah berambisi mengusung pertanian sebagai titik berat strategi pembangunan. Untuk semua itu, potensi dirgantara sebagai teknologi penunjang miliaran hektar lahan pertanian pernah disiapkan.

Hal itu dibuktikan dengan membangun Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) pada 1972. Lembaga ini memodifikasi dan memproduksi 56 pesawat multifungsi Polskie Zaklady Lotnicze PZL-104 Wilga. Pesawat bermesin Continental ini juga ditingkatkan performanya hingga 10 persen agar mampu terbang dengan kecepatan 205 kilometer per jam dan berdaya jelajah 700 kilometer.

Lincah bermanuver

Dengan memakai pesawat, percepatan penyemprotan cairan antihama pada lahan pertanian yang luasnya ratusan hektar lebih mudah dilakukan dan hasilnya relatif merata. Pada 1973, Polandia bahkan membuat pesawat pertanian bermesin jet tunggal, WSK-MIELEC M-15, atas permintaan pemerintah Uni Soviet.

Pesawat pertanian dirancang lincah bermanuver di daerah sulit dan penuh rintangan. Desain kokpit biasanya menggelembung (bubble canopy) agar pandangan pilot lebih lebar. Bentuk kokpit yang demikian membuat gaya hambat pesawat ini lebih besar.

Pesawat juga dilengkapi dengan tangki bahan kimia (hoppers) untuk menyemprotkan pestisida. Mengingat pestisida yang dipakai berbahaya, penempatan hoppers harus dibagian yang paling aman, biasanya di bagian depan kokpit dan tergantung atau quick release. Namun, desain penempatan ini tidaklah mutlak.

Agar bahan kimia tidak memengaruhi struktur utama, pesawat dilapisi dengan copon, sejenis polyurethane dan epoxy enamels, di samping penggunaan material stainless steel.

Penyemprot yang dipakai cukup peralatan sederhana, berupa pompa bertekanan yang digerakkan angin serta batang pipa dengan lubang berderet yang beratnya tidak lebih dari 20 kilogram. Saat ini, alat penyemprot telah dilengkapi speeders supaya jangkauan semprotan lebih luas. Proses penyemprotan dikendalikan oleh pilot.

Indonesia sebenarnya sudah mampu membuat pesawat agrikultural yang lebih canggih. Tujuannya, menyejahterakan rakyat dan mengisi pundi devisa dari sektor pertanian.

Drone pertanian

Namun, ada beberapa kekurangan dari penggunaan pesawat untuk bidang pertanian. Di antaranya, meski tergolong ringan, pesawat pertanian harganya cukup mahal dan hanya bisa diterbangkan oleh pilot terlatih.

Pesawat pertanian juga memerlukan lapangan terbang untuk lepas landas dan mendarat. Selain itu, dengan laju yang sangat cepat, pesawat sulit difokuskan untuk menyemprot atau menyiram di bidang-bidang tanah tertentu.

Nah, seiring berkembangnya teknologi, kini, para petani telah memiliki pilihan armada terbang pertanian selain pesawat. Mereka bisa menggunakan drone atau pesawat nirawak.

Drone pertanian mulai populer digunakan sejak 2015. Selain untuk menyiram tanaman dan menyemprot hama, drone yang dilengkapi kamera juga bisa dipakai untuk melakukan pengamatan kondisi tanaman di jengkal-jengkal tanah tertentu. Terlebih, drone bisa berhenti di udara layaknya helikopter.

Dengan menggunakan drone, para petani bisa lebih menghemat pengeluaran. Mereka tak perlu lagi menyewa pesawat pertanian yang komponen biayanya cukup mahal karena mencakup gaji pilot, avtur, hingga sewa hangar dan lapangan terbang.

Para petani cukup belajar menerbangkan drone dengan radio kontrol dan mengamati fungsinya melalui laptop atau ponsel. Proses pelatihan menerbangkan drone tentu tak memakan waktu terlalu lama.

Adapun harga drone untuk pertanian sendiri mempunyai rentang yang lebar. Di toko-toko daring, harganya dipatok mulai Rp 2 jutaan hingga di atas Rp 100 juta. Ini jelas jauh lebih murah dibanding harga pesawat pertanian yang mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. [*]

Baca juga: Air Force One, Pesawat Kepresidenan AS yang Sudah Terbang sejak 1944