Dengan ratusan pulau—berpotensi dikembangkan menjadi tujuan wisata—yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara, Indonesia sebenarnya bisa mengembangkan armada pesawat amfibi atau pesawat yang dapat mendarat di air dan di darat.

Namun harus diakui, ide untuk membangun usaha penerbangan berarmada pesawat amfibi ibarat berjudi. Sebab, ada banyak ganjalan yang menghadang, mulai dari infrastruktur, pengadaan pesawat, sumber daya manusia, hingga siapa saja yang mau jadi penumpangnya.

Meski demikian, bukan berarti usaha ini tak bisa dicoba. Pada sejumlah wilayah di Papua, pesawat jenis Cessna telah dimodifikasi menjadi floatplane untuk menjelajahi pedalaman yang sulit dijangkau. Pesawat dengan penerbang yang telah piawai mendarat di air ini, jasanya banyak digunakan untuk aktivitas sosial para misionaris.

Philipus, pilot Cessna 206 yang pernah bertugas di Papua, mengaku, pesawat-pesawat kecil menjadi andalan mobilitas warga dan barang di daerah pedalaman.

“Di Papua, pesawat seperti ini bisa mendarat di runway tanah padat di pegunungan. Aku melihat ada beberapa ruas sungai yang juga bisa didarati Cessna yang dimodifikasi menjadi floatplane. Memang mendaratkan pesawat di air punya tantangan tersendiri, tapi daerah pedalaman yang dekat dengan sungai tak ada salahnya dipelajari untuk didarati pesawat,” katanya, Senin (27/1/2023).

Dua jenis pesawat

Indonesia sebenarnya tak asing dengan pesawat amfibi. Pada zaman penjajahan Belanda, kalangan militer banyak mengoperasikan pesawat Albatross dan Catalina. Keduanya adalah pesawat yang populer di dunia kala itu. Karena dianggap efektif, Pemerintah Hindia Belanda membangun KNILM (badan angkutan penumpang sipil) dengan berbagai tipe pesawat amfibi.

Pesawat dengan kemampuan mendarat di air ada dua jenis, floatplane dan flying boat. Jenis yang pertama memiliki dua buah pelampung ramping sebagai “roda” pendaratannya di air. Pelampung ini menjadi pengapung utama bagi tubuh pesawat yang rata-rata kecil.

Sementara jenis yang kedua, pesawat memiliki desain perut yang mirip seperti lambung kapal, sehingga saat mendarat sebagian tubuhnya terendam di air. Agar pesawat tetap stabil, di kedua sayapnya dipasang pelampung kecil.

Untuk urusan kapasitas, jenis flying boat jelas lebih besar. Namun, jenis itu tak bisa mendarat di banyak tempat, termasuk sungai di wilayah terpencil. Dengan ukurannya yang lebih besar, flying boat butuh lahan tersendiri sebagai runway. Minimal, pelabuhan yang biasa disinggahi kapal kargo.

Pada era Perang Dunia II, flying boat Grumman G-21 Goose banyak berperan dalam operasi militer tentara AS. Pesawat ini digunakan untuk pendaratan pasukan, operasi intelijen, dan SAR.

Bila ada investor yang berminat mengembangkan potensi ini, otomatis akan mendorong sinergi koordinasi tiga lembaga, yakni Ditjen Laut, Darat, dan Udara. Selama pesawat masih di air, Ditjen Laut dan Darat yang berperan, dan setelah pesawat mengangkasa giliran Ditjen Udara yang bertanggung jawab.

Bila dalam kurun waktu 20 tahun mendatang impian ini menjadi nyata, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi poros maritim yang modern. Mudah-mudahan.

Baca juga: Pesawat dan Drone untuk Lahan Pertanian