Seorang perempuan terlihat tengah santai melenggang membopong tas ransel di punggung. Matanya terlihat aktif mencari papan informasi. Tak ada orang lain yang terlihat bagian dari teman perjalanannya. Sendiri. Menaklukkan tempat asing.

Fenomena ini tengah menjadi perbincangan di industri pariwisata global. Setiap tahun terjadi peningkatan jumlah pelancong solo perempuan. Film adaptasi dari novel Eat Pray Love yang dibintangi Julia Roberts disinyalir turut menjadi pendorong tren ini. Sebuah studi yang dilakukan pada 2011 menyebutkan bahwa perempuan merupakan pasar pariwisata yang berkembang pesat dan menjadi perhitungan tersendiri.

Klasikamus:

Flashpacker adalah istilah untuk pelancong. Mirip dengan backpackers yang menekankan kebebasan saat berkelana. Namun, kaum flashpackers juga berorientasi pada pentingnya kenyamanan. Situs web Adventure Travel News menyebutkan umumnya mereka membawa perangkat elektronik, seperti ponsel, komputer tablet, atau notebook saat berkelana untuk tetap terkoneksi secara virtual.

Jaringan pemasaran hotel  Small Luxury Hotels of the World (SLH) mengakui adanya peningkatan permintaan pemesanan kamar yang dilakukan oleh pelancong solo perempuan. Hal ini terjadi di Amerika, Tiongkok, Australia, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Pada 2011 dan 2012, peningkatan tersebut mencapai 53 persen.

Bukan hanya terjadi peningkatan jumlah pelancong perempuan, durasi menginap juga lebih panjang dari sebelumnya. Menangkap perubahan tren pasar ini, banyak hotel di dunia yang kini juga membuat modifikasi khusus bagi tamu-tamu berjenis kelamin perempuan agar merasa lebih nyaman. Bahkan, kini ada pula hotel yang menyediakan lantai dan kamar khusus pengunjung perempuan. Fasilitas kamar juga dilengkapi dengan perangkat kecantikan yang digemari kaum perempuan.

Apa gerangan yang mendorong semakin banyaknya pelancong solo perempuan di dunia? Merambahnya dunia media sosial merupakan salah satu faktor yang banyak disebut. Pada 2014, jejaring pemasaran Booking.com melansir hasil survei teranyarnya terhadap perempuan usia 25–45 tahun yang berasal dari Amerika, Inggris, Australia, Kanada, dan Jerman. Sekitar 58 persen dari 500 responden asal Amerika menyatakan lebih aman bertualang sendirian karena ada fasilitas media sosial.

Media sosial

Adanya koneksi virtual tak bisa dimungkiri telah mengubah perilaku orang saat berkelana dewasa ini. Media sosial membantu mencari tempat-tempat menarik untuk ditelusuri, menggali informasi, hingga menjadi pemandu perjalanan.

Aplikasi jejaring sosial seperti Twitter, Facebook, hingga Tinder menjadi salah satu cara untuk selalu terkoneksi dengan dunia virtual kala berkelana. Seperti halnya Ratih (32) yang selalu mengaktifkan aplikasi Tinder saat berada di tempat asing. Pekerjaannya menuntut perempuan lajang ini berkelana ke berbagai tempat. Hampir semua negara di Eropa sudah pernah dipijak. Bahkan sampai ke Amerika Selatan dan Afrika Selatan.

“Dalam semua perjalanan itu, saya sendirian. Supaya tidak jenuh, saya kerap memanfaatkan aplikasi Tinder hanya untuk mencari teman perjalanan. Orang lokal yang bisa mengajak saya ke restoran terdekat. Tentunya yang sajikan resep lokal dan enak. Atau ke tempat-tempat publik lainnya yang sedang terkenal di daerah itu,” ujarnya.

Tidak takut bertemu orang yang tidak berniat baik? Sambil tertawa ia hanya berujar, “Untungnya tidak pernah. Saya cukup selektif saat mencari teman. Sebelum bertemu, biasanya berkenalan via chatting terlebih dulu. Dari situ saya biasanya cukup andal menimbang-timbang sebelum memutuskan pergi bersamanya.”

Berkelana sendiri, baik karena urusan bisnis ataupun berlibur, memang bisa jadi amat menantang sekaligus menyenangkan. Di Indonesia, semakin banyak kaum perempuan yang memiliki hobi berkelana sendiri, yang bagi sebagian orang dirasa lebih mengasyikkan.

Bangkitnya pasar perempuan di ranah ini pun menjadikan industri pariwisata kian bersemangat. Berkreasi menciptakan fasilitas baru yang tak lain demi semakin meningkatkan rasa nyaman dan aman kaum perempuan saat merambah dunia. [ADT]

noted: perempuan melancong dunia