Ada beberapa gangguan fisik yang acap mengintai pasangan yang bercerai. Di mulai dari stres dan menurunnya sistem kekebalan tubuh, perceraian kemudian mengundang sejumlah penyakit.

Pasangan yang bercerai juga rentan terhadap sindrom metabolik. Ini adalah kombinasi mematikan dari peningkatan tekanan darah, gula darah, dan lemak di sekitar perut hingga pinggang. Menurut seorang peneliti dari Emory University, Atlanta, AS, orang yang mengalami depresi memiliki kecenderungan terserang sindrom metabolik. Perceraian, kata peneliti tersebut, menjadi faktor berisiko tinggi yang menyebabkan depresi, utamanya pada perempuan.

Pelaku perceraian juga mudah terserang insomnia. Para ahli kesehatan menggambarkan hal itu sebagai “insomnia sekunder” sebab terkait dengan suatu peristiwa dalam bagian tertentu sebuah kehidupan. Jika tak ditangani secara serius, gangguan ini dapat menjadi masalah jangka pangjang. Bila mengalami insomnia dengan alasan apapun, segera konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan rencana pengobatan terbaik.

Para peneliti di University of Chicago juga menemukan, sebanyak 23 persen pelaku perceraian amat mungkin mengalami gangguan mobilitas, seperti kesulitan naik tangga atau berjalan jarak pendek. Sebuah penjelasan yang masuk akal, munculnya kecemasan pada orang yang bercerai ditambah dengan kurang tidur yang kemudian membuat tubuh lemas dan tidak termotivasi. Peneliti juga mendapatkan bukti, perceraian meningkatkan risiko penyakit jantung hingga 20 persen.

Anak-anak yang orangtuanya bercerai juga menunjukkan gejala-gejala stres. Ini harus segera diperhatikan dan mendapat tindakan yang benar. Stres yang menghampiri si kecil bisa membuatnya kelelahan dan mengalami kekurangan gizi.

Stres yang dipicu oleh ketidakharmonisan hubungan orangtua awalnya berupa ketakutan pada anak. Orangtua yang sering bertengkar atau hingga bercerai mengundang rasa tak aman dan kegelisahan pada anak. Ketidaknyamanan ini terekam dalam memori anak dan bisa membuatnya menepi dari pergaulan dengan teman sebayanya. Anak menjadi minder, sensitif, atau sulit berkonsentrasi.

DailyMail pernah membuat laporan, anak-anak atau remaja yang melihat orangtua mereka bercerai cenderung akan mengalami sakit kepala, gangguan tidur, perasaan yang tertekan, pusing, dan nafsu makan menurun. Setelah anak atau remaja tinggal dengan salah satu orangtuanya, keadaan mereka bisa lebih buruk.

Riset yang dilakukan beberapa ilmuwan Stockholm University menemukan, perceraian orangtua bisa meningkatkan risiko psikosomatik pada anak. Psikosomatik adalah gangguan jiwa yang berpotensi pada penyakit fisik yang disebabkan atau diperburuk oleh faktor kejiwaan atau psikologis.

Selama lebih dari 20 tahun, angka perceraian di negara maju terus meningkat. Hal itu mendorong tingginya kasus perebutan hak asuh anak. Di Swedia, kata beberapa sumber, pertikaian seputar hak asuh anak telah melonjak dari 1 persen hingga 2 persen dari anak-anak yang terkena dampak perceraian selama 1980. Pada 2010, persentasenya telah menyentuh angka 40 persen.

Oleh sebab itu, janji dan cita-cita sebuah pernikahan harus selalu dipegang sebagai penguat dalam komunikasi setiap pasangan. Keterbukaan dan budaya mengkritik-dikritik bisa ditumbuhkan dalam keluarga agar selalu hadir solusi untuk setiap masalah. [*] Foto dokumen Shutterstock.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Agustus 2015