Ritme perkotaan yang semakin cepat membawa konsekuensi bagi perut, bagi tubuh. Jangankan untuk pergi ke pasar, menyentuh peralatan masak di dapur pun sudah tak sempat. Pilihan menu di warung, restoran cepat saji, atau makanan siap antar menjadi andalan mengasup kebutuhan tubuh. Begitulah sekelumit kisah para pekerja kantoran dan tubuhnya di area urban.
Kesadaran tentang kesehatan kerap hanya berbentuk teori di kepala. Coba lihat piring makan siang kita. Kita sudah merasa cukup dengan setumpuk nasi, sepotong ayam goreng, dan sesaset saus. Makan sayuran atau buah sesempatnya.
Padahal, pemenuhan kecukupan gizi bagi pekerja selama bekerja merupakan salah satu bentuk penerapan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja. Ini penting untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja. Hal tersebut juga tertera di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Namun, idealisme tentang kesehatan golongan pekerja masih berbenturan dengan fakta adanya kecenderungan umum masalah gizi pekerja, yaitu obesitas, anemia, serta kekurangan energi dan protein. Hal tersebut diamini Didit Damayanti MSc DrPH, dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes.
“Data yang cukup detail khusus untuk masalah kesehatan pada pekerja memang belum ada. Namun, kita bisa merujuk pada Riskesdas yang menunjukkan bahwa prevalensi obesitas terus meningkat dari periode ke periode,” ujar Didit, Rabu (21/1/2015).
Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas sebesar 19,7 persen, lebih tinggi dibandingkan pada 2007 (13,9 persen) dan 2010 (7,8 persen). Sementara itu, prevalensi obesitas pada perempuan dewasa pada 2013 sebesar 32,9 persen, naik 18,1 persen dari 2007 (13,9 persen) dan 2010 (15,5 persen).
“Dari data tentang obesitas tersebut, pemenuhan gizi sebenarnya justru sudah berlebihan. Tetapi, ada data lain yang mengungkapkan, gizi yang didapat tidak seimbang. Sebagian besar orang kekurangan zat gizi tertentu. Jadi, obesitas ini terjadi karena kelebihan gizi dari zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak, tetapi vitamin dan mineralnya kurang,” tambah Didit.
Di lingkungan perkantoran, tantangan untuk memelihara kesehatan lebih besar. “Pengetahuan tentang gizi seimbang saja tidak cukup, perlu disokong dengan ketersediaan makanan yang bergizi di sekitar kita. Sayangnya, di sini kesadaran itu belum terbentuk,” ujar Didit. Penyedia makanan seperti warung atau kantin mestinya memikirkan pula keragaman jenis makanan dan mengolahnya dengan baik sehingga manfaatnya optimal.
Jika di sekitar lingkungan bekerja makanan dengan gizi seimbang sulit ditemukan, kita sendirilah yang harus mengusahakannya. Didit mencontohkan, untuk dirinya sendiri, ia merencanakan konsumsi buah dalam seminggu. Ketika bekerja, ia membawa bekal buah dari rumah untuk tetap dapat memenuhi kebutuhannya.
Selain itu, kondisi spesifik di tempat kerja harus diperhatikan. “Di perkantoran, kita lebih banyak duduk. Ini harus diimbangi dengan lebih banyak minum. Di pabrik, misalnya, amati apakah lingkungan tempat bekerja sudah cukup ergonomis dengan anatomi tubuh,” tutur Didit. Lingkungan kerja yang kurang mendukung kesehatan fisik harus disiasati dengan lebih banyak olahraga.
Di lingkungan kerja, memang banyak aspek pendukung kesehatan yang patut dibenahi. Sembari menyuarakan dan menunggu perubahan ke arah yang positif, kita bisa mengupayakan kesehatan kita, dari diri sendiri. [NOV]
Foto Shutterstock.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 22 Januari 2015