“Aku sudah lama dengar tentang pasar ini, katanya pusatnya hewan peliharaan di Yogya,” katanya, Minggu (17/11/2024). Kunjungannya ke Yogyakarta kali ini terasa lebih istimewa karena ia berencana mencari kado ulang tahun berupa kura-kura untuk keponakannya.
Pasty merupakan pindahan dari Pasar Ngasem, pasar tradisional di kawasan Taman Sari, Kraton. Konon, Pasar Ngasem berdiri sejak 1809. Pada 1960, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan agar para penjual burung yang tersebar di berbagai tempat di Yogya, dikumpulkan di satu lokasi, yakni Pasar Ngasem.
Setelah menyusuri kios-kios yang rapi, Bima bertemu dengan Sapto, seorang penjual hewan peliharaan yang sudah berjualan di Pasty sekitar 10 tahun. Sapto lantas menawarkan beberapa jenis kura-kura. Harganya bervariasi, mulai dari Rp 25 ribu hingga ratusan ribu rupiah.
Kepada Klasika Kompas, Sapto menceritakan sekilas tentang aktivitas berdagangnya. “Dulu saya berdagang di Pasar Ngasem, tapi sejak 2010 dipindahkan ke sini. Di sini lebih lega dan nyaman buat pengunjung. Kalau Sabtu atau hari libur, pengunjung di sini relatif ramai, ya,” katanya.
Pasty menawarkan pengalaman unik bagi para pengunjung. Selain burung berkicau seperti murai, kacer, kutilang, hingga lovebird, ditawarkan pula marmot, kelinci, kucing, hingga anjing. Ada juga hewan eksotis, contohnya ular tidak berbisa, iguana, dan tokek hias.
Selain itu, juga tersedia berbagai jenis ikan hias air tawar, mulai dari si mungil gupi, koki mutiara yang lucu, hingga arwana yang tampak garang. Tak ketinggalan, tanaman-tanaman hias yang terbilang sedang populer, seperti Pilea peperomioides (uang China), Anthurium crystallinum, dan Ficus audrey.
Di dekat pintu masuk, terdapat sangkar besar yang di dalamnya hidup seekor ular piton besar sepanjang kira-kira tiga meter. “Meski tidak dijual, ular ini jadi ikon pasar. Banyak pengunjung yang penasaran,” cerita Sapto.
Bima mengaku senang dengan suasana pasar yang teduh. “Menurutku tempat ini lebih ramah untuk anak-anak, ya,” ungkapnya. Ia juga sempat melihat area lomba burung berkicau yang biasanya diadakan setiap bulan.
Harmoni lokal dan digital
Ketika ditanya tentang fenomena jualan daring (online), Sapto hanya tersenyum. “Kalau hewan itu beda. Pembeli harus lihat langsung, biar tahu kesehatannya,” sebutnya. Meski begitu, ia mengakui pentingnya adaptasi. Beberapa pedagang mulai memanfaatkan media sosial untuk promosi.
“Tapi ya, tetap utamanya di sini, ngobrol langsung dengan pembeli itu lebih pas,” katanya.
Sementara itu, Bima memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bertanya detail tentang kura-kura. Sapto menjelaskan dengan sabar, termasuk cara perawatan dan makanan yang dibutuhkan. “Ini yang bikin aku suka belanja langsung. Rasanya personal, lebih paham apa yang dibeli,” ucap Bima.
Bagi Sapto, Pasty bukan sekadar tempat mencari nafkah. “Di sini ada komunitas, suasana kekeluargaan. Kita saling berbagi pengalaman,” katanya. Tradisi pasar yang kaya dengan interaksi manusia dan nilai-nilai lokal membuat Pasty tetap bertahan di tengah gempuran digitalisasi.
Bima akhirnya membawa pulang kura-kura kecil dalam kotak transparan. “Senang bisa datang di sini, aku bisa memilih langsung kura-kura yang menurutku paling oke,” ujarnya puas.
Melalui pasar ini, Yogyakarta sekali lagi membuktikan bahwa harmoni tradisi, manusia, dan alam dapat menjadi daya tarik yang tak lekang oleh waktu.