Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), penyandang disabilitas mental (PDM), penyandang disabilitas psikososial (PDP), atau apa pun istilah yang digunakan, merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki hak berpolitik, yaitu hak memilih dan hak untuk dipilih. Namun, apakah memang kompeten untuk menentukan pilihannya? Bukankah termasuk kelompok rentan sehingga mudah dipaksa, dimobilisasi, diintimidasi, dan dimanipulasi dalam menentukan pilihannya? Bagaimana nasib dan keberlanjutan bangsa ini jika kelompok tersebut menjadi peserta pemilu? Kalaupun bisa, apakah sebaiknya perlu ada Surat Keterangan Kesehatan Jiwa dari psikiater?

Indonesian Early Career Psychiatrists—Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (Indo-ECP PDSKJI), organisasi psikiater muda di Indonesia, berupaya mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggelar Seminar Kesehatan Jiwa bertema “Orang Dengan Gangguan Jiwa Benarkah Perlu dan Layak Memilih?” di Ruang Pertemuan RSCM Kirana, RSUP Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Sabtu (23/3/2019).

Seminar dibuka oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr Eka Viora SpKJ. Seminar ini dihadiri lebih dari 70 orang peserta terdiri atas berbagai profesi kesehatan dan kesehatan jiwa, di antaranya dokter, psikiater, psikolog, perawat, dan pekerja sosial dari berbagai kota di Indonesia, seperti Bangka Belitung, Tarakan, Manado, Bogor, Yogyakarta, Magelang, Klaten, dan Banjarmasin.

Pembahasan dalam seminar ditujukan untuk melihat perspektif konsumer, profesional kesehatan jiwa, dan organisasi pemerintahan. Konsumer merupakan perwakilan dari organisasi konsumer Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Bipolar Care Indonesia (BCI).

Dalam paparannya, Ariandy Arief (PJS) dan Agus Hidayat (BCI) konsumer sepakat menyampaikan bahwa penyandang disabilitas mental layak dan perlu menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang memiliki hak pilih. Hak pilih merupakan hak dasar seluruh warga negara tanpa diskriminasi apapun.

“Pemilu merupakan momentum bagi penyandang disabilitas mental untuk berperan aktif dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial. Tidak diperlukan surat keterangan dari dokter karena hal tersebut merupakan bentuk diskriminasi yang memperkuat stigma bagi penyandang disabilitas mental. Gangguan jiwa bersifat periodik (tidak terus-menerus) sehingga surat keterangan tidak diperlukan,” kata Agus.

Dr dr Irmansyah SpKJ(K) mewakili Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia (JRPI) menguatkan pernyataan Agus. “Hak pilih ODGJ merupakan hak dasar semua warga yang juga diatur dengan jelas dalam Convention Rights for Person with Disabilities (CRPD). Pemerintah Indonesia ikut serta menandatangani konvensi itu pada tanggal 30 Maret 2007 dan mengesahkannya sebagai dokumen negara di tahun 2011. Hak pilih tersebut wajib difasilitasi oleh negara, bukan dibatasi, termasuk dengan prasyarat tertentu.”

Perspektif profesional kesehatan jiwa membahas apakah ODGJ perlu membawa Surat Keterangan Kesehatan Jiwa ketika menggunakan hak pilihnya? Dr Natalia Widiasih R SpKJ(K) MPd Ked menyatakan, tidak perlu surat keterangan untuk memilih.

“Bila ODGJ harus membawa surat keterangan, semua pemilih harus diperiksa kesehatan jiwanya. Sementara tidak ada kebijakan yang mengatur hal tersebut,” katanya.

Baca juga: Karier Perempuan di Dunia Politik

Sementara itu, Ditjen HAM Kemenkumham Farida Wahid menjelaskan bahwa UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 148 tentang Kesamaan Hak Penyandang Disabilitas Mental Sebagai Warga Negara. “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin bahwa penyandang disabilitas mental dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam politik tercantum dalam UU No 8 Tahun 2016, Pasal 75.” Keterangan ini menunjukkan bahwa memfasilitasi hak pilih bagi penyandang disabilitas, artinya kita menjamin terlaksananya 2 undang-undang penting negara.

Ketua Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, Betty Epsilon menjabarkan, Putusan MK No 135/PUU-XIII/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bahwa salah satu syarat warga negara Indonesia yang bisa didaftar sebagai pemilih adalah orang yang tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya (Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2015), bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945. Frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa permanen yang menurut profesional kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan untuk memilih dalam pemilu.

Pada akhir seminar, Dokter Eka memberi rangkuman bahwa perspektif konsumer, profesional, dan pemerintah menyatakan dengan jelas bahwa ODGJ memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara lainnya sehingga ODGJ perlu dan layak untuk memilih sebagai bagian dari fungsinya sebagai warga negara Indonesia. Keputusan akhir—memilih atau tidak—merupakan hak dari ODGJ yang tidak boleh dipaksa atau dimobilisasi.

Baca juga: Waspada! Sering Bermain Gawai Bisa Ganggu Kesehatan Anak

“Tugas pemerintah adalah menjamin semua ODGJ terdata dan terjamin hak hukumnya. Tugas profesi kesehatan dan kesehatan jiwa adalah melindungi dan memfasilitasi hak ODGJ dengan reasonable accommodation, membantu, dan menjamin saat pemilu ODGJ dalam keadaan tidak terganggu jiwanya karena gangguan jiwa sifatnya episodik,” ujarnya. [*]

Foto: dokumen Indonesian Early Career Psychiatrists