Bukan sekadar membuat. Ini tanggapan pertama yang terlintas ketika hendak meminum teh hangat dari sebuah mug berwarna biru langit dengan bagian bawahnya berwarna abu-abu. Bukan soal isinya, tetapi penampilan mug itulah yang membuat terkesima. Sederhana, tetapi terasa kuat makna.

Mug yang berbahan keramik dan berwarna lembut tersebut entah bagaimana membuat air teh yang ada di dalamnya terasa lebih hangat dan lebih dekat menjadikannya sebuah tableware yang “membumi”. Agak berlebihan mendengarnya, tetapi memang itu yang terasa.

Penasaran dengan karya mug yang berbeda tersebut, dicarilah sang seniman yang membuatnya. Adalah Ayu Larasati, seorang perempuan mungil yang menguatkan keberadaan mug tersebut. Ditemui di sebuah kedai kopi di Jakarta Selatan, Ayu lebih memilih untuk menyebut dirinya bukan disebut sebagai seniman, tetapi seorang ceramic potter.

“Aku lebih senang disebut sebagai ceramic potter. Kalau disebut seniman rasanya aku belum sampai ke situ,” ungkap Ayu.

Mengawali diri sebagai ceramic potter, sewaktu kuliah di Toronto, Kanada, beberapa tahun yang lalu, Ayu sebenarnya tidak menekuni secara khusus bidang ini. “Sewaktu kuliah dulu, aku sebenarnya mengambil jurusan industrial design. Awalnya mau fine arts, tetapi izin orangtua tidak memungkinkan, akhirnya aku memilih jurusan yang nantinya di dunia kerja bersifat lebih aplikatif,” kenang Ayu.

Ditambahkan oleh Ayu, “Hingga akhirnya, aku kini lebih dikenal sebagai ceramic pottery, dulu bidang ini hanya merupakan kelas mata kuliah tambahan atau ekstrakurikuler, agar dapat menyelesaikan kuliah. Namun, ketika pertama kali masuk ke kelasnya, aku sudah langsung jatuh cinta. Ketenangan yang ada di sekitarnya membuat aku betah. Beda seperti di kelas wood workshop atau metal workshop yang kondisinya begitu bising karena suara-suara dari mesin berat.”

Lebih personal

Seiringnya waktu, bagi Ayu, membuat keramik menjadi sesuatu hal yang tak bisa lepas dari kesehariannya. Setelah lulus kuliah tahun 2011, di rumahnya kala itu masih di Kanada, Ayu masih sering membuat mug atau piring keramik. Namun sayang, Ayu belum memiliki tungku pembakaran sehingga mug atau piring yang Ayu bentuk belum dapat menjadi produk akhir.

Sampai tiba waktu ketika Ayu dan kawannya sedang jalan-jalan, saat itu masih tinggal di Toronto. Ayu menemukan sebuah tungku pembakaran dengan harga yang terjangkau. Tanpa berpikir panjang Ayu membeli tungku tersebut.

“Semenjak itu, aku bisa membakar piring atau mug yang aku buat. Saat itu, mug atau piring-piring yang aku buat masih aku sendiri yang pakai atau biasanya ada teman-teman dekat yang pesan untuk dijadikan hadiah,” terang Ayu yang pernah meraih penghargaan OVE Design Award in the Excellence of Design Process pada 2011 di Kanada.

Bagi Ayu, proses pembuatan keramik menjadi sesuatu hal yang personal. Membuat tableware dari tanah liat hingga akhirnya menjadi keramik butuh kesabaran.

“Membuat keramik sangat tergantung juga dengan cuaca. Kalau lagi musim hujan misalnya, susahnya, karena waktu pengeringan keramik sebelum dibakar bisa menjadi lebih lama. Yang biasanya satu hari, bisa lebih dari itu. Bahkan jika terlalu kering juga tidak bagus karena struktur keramik bisa mudah retak kemudian pecah. Proses pembuatan keramik itu sangat sensitif,” jelas Ayu.

Oleh karena itu, Ayu ingin orang-orang yang membeli atau menggunakan tableware dari keramik dapat lebih mengapresiasi apa yang mereka gunakan. Bukan hanya sebagai mug atau piring, tetapi maknanya lebih dari itu, lebih personal.

“Aku merasa saat ini sudah mulai banyak orang yang lebih memilih barang-barang di sekitarnya yang dapat membawa makna tertentu di dalam kehidupan mereka. Seperti memilih lukisan. Orang pasti memikirkan siapa pelukisnya dan cerita di balik lukisan tersebut,” ujar Ayu.

Ayu pun memaparkan bahwa dalam membuat keramik sebanyak 80 persen menggunakan sentuhan. “Tak sekadar melihat, tetapi juga melalui sentuhan, aku dapat lebih mudah mengetahui tekstur adonan tanah liat yang sedang aku proses apakah terdapat pori-pori atau lubang, apakah tebal atau tipis, semua melalui sentuhan. Semua olah rasa. Inilah yang aku suka dalam membuat keramik. Dibutuhkan kelembutan dan kesabaran dalam mengolahnya,” ungkapnya.

Ayu mengaku lebih menyenangi membuat mug dengan tampilan earthy dan gaya rusty agar tampak lebih alami dan sederhana. Unsur-unsur inilah yang dapat dijumpai dari hasil karyanya yang sebagian dapat dilihat di ayularasati.com atau akun Instagramnya. Selain membuat keramik, Ayu beberapa kali turut serta dalam workshop yang diadakan oleh artspace/makerspace yang ada di Jakarta seperti Dialogue Kemang dan Indoestri di Cengkareng.

Melalui sentuhan tangan dan hati yang dituangkan ke mug dan jar yang dibuatnya, Ayu mencoba mempersembahkan cinta kepada siapa pun yang mengapresiasinya. [ACH]

foto: dok Ayu Larasati