Berlari barangkali adalah salah satu olahraga paling universal. Hampir semua orang–pada level-level tertentu–bisa melakukannya. Sebagian yang lain memilih menekuninya dan membawa hobi ini ke arah yang lebih jauh, maraton.

Ewen North, pelatih dan direktur Revolution Running in Boulder Co, mengatakan sensasi pencapaian ketika kita melintasi garis finis mem­buat semua upaya yang dilaku­kan pada waktu-waktu sebelumnya ter­bayar. Kini, orang pun mau berjauh-jauh melintasi batas negaranya untuk dapat berlari sejauh kira-kira 42,2 kilometer di negeri yang baru dikenalnya.

Kita dapat dengan mudah mencari ajang-ajang maraton tersohor di dunia. Boston Marathon, Athens Authentic Marathon, Marine Corps Marathon, atau Great Wall Marathon. “Saya belum pernah mendengar Tromso,” kata Gunawan Samiadjie, yang menyebut dirinya pelari rekreasi dan sudah beberapa kali mengikuti ajang maraton.

Foto-foto dokumen Gunawan Samiadjie

Tromso

Kata “Tromso” itu pertama kali ia dengar beberapa bulan lalu, ketika rekannya, Fayola Revi Sitompul (Ambassador of Marathon Globetrotters for South East Asia) dan Andri Setiabudi (pelari dari Run for Indonesia) menyebut rencana tentang berlari di daerah Kutub Utara. Tromso menjadi lokasinya kali ini, pada ajang yang disebut Midnight Sun Marathon.

Tromso adalah kota kecil di utara Norwegia yang masuk kawasan Arktik, Kutub Utara. “Pada musim panas yang hanya sepanjang tiga bulan, matahari tidak pernah tenggelam di Tromso,” ujar Gunawan. Yang membedakan malam dengan siang hanya suhu udara yang jauh lebih dingin pada malam hari, berkisar 5 hingga 7 derajat celsius.

Begitulah, pada Juni lalu, Gunawan terbang selama 2 jam dari Oslo ke Tromso. “Dari kaca jendela pesawat, saya melihat semua daratan tertutup es,” kata Gunawan. Hatinya sempat mencelos. Ini bukan maraton biasa.

Gunawan dan rekan-rekannya menjejakkan kaki juga di kota seluas 2,5 kilometer persegi itu. Hari itu, 17 Juni 2018, ia berlari menjelang tengah malam. Di Artik, suasana malam tetap terang benderang seperti siang.

Tahun ini adalah tahun ke-29 penyelenggaraan Midnight Sun Marathon, yang sudah mengantongi sertifikat dari Association of International Marathons and Distance Races (AIMS). Pesertanya pun bertambah setiap tahunnya pada berbagai kategori, mulai dari kid dash hingga full marathon 42 kilometer.

Tantangan dan kehangatan

Sebelum mulai berlari, Gunawan sempat mengobrol sedikit dengan Nils Haetta, Race Director Midnight Sun Marathon. Nils menegaskan, maraton bukan untuk pelari manja. Masing-masing pelari harus menyiapkan diri sebaik mungkin karena hanya mereka sendiri yang tahu kondisi fisiknya.

Persiapan itu termasuk manajemen air dan antisipasi menghadapi cuaca. Apalagi, cuaca dingin dan batas waktu (cut off time) menyelesaikan maraton ini adalah 5 jam 30 menit–berbeda dengan ajang lain yang rata-rata memberikan waktu tujuh jam.

Di tengah suhu yang menggigilkan itu, berlari bukan sesuatu yang mudah. Pada kilometer 2, ketika pelari melewati jembatan Tromso, angin bertiup kencang dari arah depan. Ditambah lagi, hujan mulai turun. Berlari jadi lebih menantang.

Pada situasi seperti itu, kehangatan datang juga dari beragam hal. Ketika pelari memasuki pedesaan, interaksi dengan penduduk terjadi. “Mereka keluar dari rumah dan meneriakkan ‘Hei-ya, hei-ya,’ yang artinya ayo ayo semangat!” kata Gunawan. Banyak dari mereka juga membunyikan lonceng dan menawarkan kudapan, cokelat atau kue buatan sendiri.

“Melewati kilometer 37, seseorang dari belakang menepuk punggung saya dan berkata ‘Go go go, it’s almost time!’,” kata Gunawan. Ternyata seorang pria tua berusia 68 dari Italia bernama Guido Campedeli. Ia memperingatkan Gunawan untuk mempercepat langkah sehingga mereka bisa mencapai garis finis bersamaan.

Gunawan mengenang Midnight Sun Marathon sebagai salah satu ajang maraton yang paling menyentuh, dengan segala keindahan kota dan keramahan penduduknya. Sekitar satu minggu setelah pulang dari Tromso, Gunawan mendapat surat elektronik berjudul “Special Invitation to Polar Night Half Marathon – January 2019”. Tahun depan, ia akan kembali ke Tromso dan berlari, kali ini disinari kilauan aurora.

Jika kita pernah bertanya-tanya, mengapa orang mau berlari, penulis Haruki Murakami yang juga rutin berlari punya jawaban yang bagus. Katanya, kebanyakan pelari berlari bukan karena mereka ingin hidup lebih panjang, me­lainkan ingin sepenuhnya hidup. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 13 Agustus 2018.