Galeri itu cukup luas. Atmosfernya terasa sedikit temaram tapi cukup nyaman. Mobil VW kodok yang seolah diremas menjadi bola besar meningkahi salah satu sisi ruangan galeri. “Bola” VW kodok berwarna kuning itu berpadu cantik dengan sapuan nuansa interior galeri yang soft dan membumi.

Inilah Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Macan) yang hadir menjawab kerinduan para penikmat seni kontemporer Tanah Air di Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Meseum ini seolah kembali menegaskan tentang dunia seni yang selalu melahirkan beragam karya abadi agar dapat dinikmati lintas generasi.

Museum Macan boleh disebut sebagai institusi museum seni kontemporer pertama di Indonesia. Rencananya museum ini baru akan diresmikan pada November 2017. Fasilitas yang disediakan sudah modern dan berstandar internasional.

Direktur Museum Macan Aaron Seeto saat First Sight periode kedua pada Sabtu (9/9) mengatakan, tujuan museum sebenarnya menjadi tempat berkumpul, tempat melihat dan mengalami, serta untuk belajar. “Saat kami makin mendekat ke pembukaan di bulan November, sekaligus peluncuran museum secara resmi, dorongan yang menggugah dan berlipat ganda dapat tercetus saat Anda menyaksikan performance. Atau, berdiri di hadapan sebuah lukisan atau patung, menjadi tujuan terdepan kami.”

Museum Macan berkomitmen untuk membuat seni kian mudah diakses masyarakat luas. Edukasi juga menjadi jantung dari program-program museum ini, yang akan menampilkan wawasan koleksi seni rupa modern dan kontemporer dari Indonesia dan seluruh dunia.

 Program pratinjau

Maka, untuk menghidupkan ruangan museum sebelum peresmian dihelat, Museum Macan mengawali dengan menghelat First Sight. Sebagai rangkaian seri seni pertunjukan, First Sight terbagi menjadi dua fase, yaitu pada 12 Agustus 2017 dan 9 September 2017.

Sejumlah seniman lokal maupun dari mancanegara—contohnya Singapura, China, dan Australia—menyuguhkan karya seni pertunjukan mereka dalam First Sight kedua. Seniman yang berpartisipasi adalah Duto Hardono  (Variation & Improvisation for ‘In Harmonia Progressio’),  Xu Zhen (In The Blink of an Eye), Arahmaiani (Handle Without Care), Mella Jaarsma (Dogwalk), Justin Shoulder (Carrion:Episode 1), dan Heman Chong (A Short Story, Somewhere, Out There).

Ditampilkan di ruang pamer, program pratinjau ini menegaskan bahwa museum adalah tempat intervensi artistik, untuk berkontemplasi, meluaskan wawasan, dan saling berbagi. Lalu, mengapa seni pertunjukan? Aaron mengungkapkan bahwa bukan hanya karena pertunjukan menjadi bagian penting sejarah seni rupa kontemporer, di Indonesia dan dunia, tapi seni ini juga dirayakan karena potensi transformatifnya, yang mendorong penyampaian gagasan seniman kepada audiens secara langsung.

“Hal-hal yang dilakukan seniman membuka beragam cara untuk menghadapi dunia di sekitar kita. Dan museum, melalui programnya berupaya memperluas pengalaman budaya para pengunjungnya,” tukasnya.

0410-LANGGAM-MUSEUM_18
0410-LANGGAM-MUSEUM_1
0410-LANGGAM-MUSEUM_2
0410-LANGGAM-MUSEUM_3
0410-LANGGAM-MUSEUM_4
0410-LANGGAM-MUSEUM_5
0410-LANGGAM-MUSEUM_7
0410-LANGGAM-MUSEUM_8

Seniman konseptual Duto Hardono (32) menyajikan karyanya yang menjadi bagian seri karya bunyi dan komposisi musik bertajuk “Variation & Improvisation”. Karya ini dikembangkan Duto selama menjalankan residensi di Nanyang Technological University Center of Contemporary Art, Singapura, pada 2016.

Duto menerangkan, preferensi karyanya banyak berkutat dengan aspek bunyi. Salah satu alasannya, masa mudanya tumbuh bersama musik serta studi yang diambil ketika mengambil program magister Komposisi Bunyi di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Kegemaran saya mengolah gagasan tentang bunyi yang berulang dan melibatkan partisipasi orang. Nah, terhitung dalam 2-3 tahun terakhir, saya lebih banyak menciptakan karya yang bukan berupa obyek material melainkan membuat semacam script atau chore lalu meminta sejumlah aktor untuk menyuarakannya,” ucap Duto.

Untuk itu, ketika mempersiapkan pertunjukan di First Sight kedua, Duto mendapat bantuan 14 aktor sukarelawan dari berbagai usia dan latar belakang pekerjaan. Bersama mereka, Duto mampu mengubah suara dan bahasa dengan bunyi komposisi terimprovisasi yang mengisi seluruh ruangan museum.

Dengan memanfaatkan akustik ruangan museum, para aktor ini berulang-ulang menyuarakan “In”, “Harmonia”, dan “Progressio”—sebuah frase latin yang berarti kemajuan dalam harmoni. Pertunjukan ini menghasilkan impresi yang mengesankan para pengunjung museum.

0410-LANGGAM-MUSEUM_17
0410-LANGGAM-MUSEUM_16
0410-LANGGAM-MUSEUM_15
0410-LANGGAM-MUSEUM_14
0410-LANGGAM-MUSEUM_13
0410-LANGGAM-MUSEUM_12
0410-LANGGAM-MUSEUM_11
0410-LANGGAM-MUSEUM_9
0410-LANGGAM-MUSEUM_8
0410-LANGGAM-MUSEUM_6

 “Saya sangat senang di Indonesia ada museum seni rupa yang diwujudkan dari lingkungan yang paham dan cinta terhadap seni sekaligus berkomitmen menjadi wadah karya para seniman. Harapannya, Museum Macan dapat menjadi wadah edukasi untuk masyarakat, karena saya lihat saat ini animo publik terhadap seni semakin baik,” imbuhnya.

Senada dengan Duto, penikmat seni seperti Maria Husna Shafita (35) juga menaruh asa terhadap kehadiran Museum Macan. Perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis film ini berpendapat, “Saat pertama kali datang, saya tidak menyangka jika museum ini ternyata memiliki area yang besar, modern, dan nyaman. Kondisi seperti itulah yang saya rasakan sama persis ketika mengunjungi museum-museum seni di luar negeri.”

“Ekspektasi saya terhadap Museum Macan amat besar, terutama dalam keberagaman koleksi karya seni yang ditampilkan. Harapan lainnya, semoga museum ini juga membuat pameran khusus semacam jenis travelling exhibition Yayoi Kusama, yang baru selesai diadakan di Singapura,” lanjutnya.

Seperti keinginan Duto dan Maria, ada sejuta harapan yang memendar melalui seni dan galeri. Presiden Kennedy pun pernah berpesan, “Jika seni bertujuan untuk memelihara akar dari budaya, masyarakat harus membiarkan seniman bebas mengikuti visinya masing-masing ke mana pun hal itu membawa mereka.” [MR RAHAJENG KRISTIANTI]

Foto-foto Iklan Kompas/ Ajeng Kristianti dan dokumen Museum Macan

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 29 September 2017