Kata penyair Diane Ackerman, cinta dan batik punya persamaan. Keduanya tercipta dari ragam semburat warna yang emosional. Namun, kita juga bisa mengatakan, karena cintalah batik tercipta.
Ikuyo, perempuan setengah baya asal Jepang itu, dengan hati-hati memulaskan canting berisi lilin pada lembaran kain putih sepanjang kira-kira dua meter yang ada di hadapannya. Setelah cairan lilin di dalam canting habis, ia mengisi cantingnya lagi, meniup-niup ujungnya sebentar, dan kembali menarikan canting itu di atas kain. Sesekali dilapnya butir-butir peluh yang menetes dari dahinya. Sudah beberapa hari ini Ikuyo menghabiskan waktu di Museum Tekstil Jakarta demi menekuni hobi membatiknya.
“Saya suka sekali batik. Sangat indah,†kata Ikuyo yang juga sudah belajar bahasa Indonesia, Rabu (27/4). Ketika pertama kali bertemu batik beberapa tahun lalu, ia jatuh cinta. Sampai sekarang, ia masih memelihara cinta itu dan selalu bersemangat untuk mencintai batik lebih dalam. Setelah sekian lama mempelajari batik, Ikuyo makin mahir. Motif-motif tradisional rumit yang terdapat pada kain yang sedang dikerjakannya itu juga digambarnya sendiri. Elok, dengan detail yang begitu halus.
Ikuyo bukanlah satu-satunya warga negara asing yang belajar membatik di Museum Tekstil hari itu. Di sudut lain ruang belajar membatik, dua orang kakak-beradik dengan rambut kecokelatan dan pipi bersemu kemerahan berusaha menebalkan ornamen samar pada kain berukuran sekitar 30 sentimeter x 30 sentimeter dengan pensil. Itu adalah pola batik yang diberikan Museum Tekstil untuk kemudian dilapisi dengan lilin malam.
Marlina, ibu kedua anak itu yang berasal dari Indonesia bercerita, semenjak menikah dengan pria berkewarganegaraan Perancis, ia tinggal di Perancis. Anak-anak mereka dibesarkan di Perancis. Suatu kali, Marlina pernah membelikan Mikael, anak tertuanya, sebuah kemeja batik.
“Ternyata Mikael senang sekali. Saya jadi lebih sering membelikannya batik. Sekarang, Mikael sudah mempunyai tujuh kemeja batik,†tutur Marlina. Siang itu, Mikael mengenakan salah satu kemeja batiknya yang berwarna dominan putih dan merah.
Pada April itu, ketika sedang berjalan-jalan di Indonesia, Marlina secara khusus mengagendakan kunjungan ke Museum Tekstil untuk membuat kedua anaknya punya pemahaman lebih luas tentang kain tradisional Indonesia. Kebetulan, pada saat itu galeri utama Museum Tekstil menampilkan pameran lurik. Mereka bertiga pun melihat-lihat koleksi lurik. Sesekali Marlina memberi penjelasan tentang kain lurik kepada kedua anaknya dalam bahasa Perancis.
Belajar di museum
Bagi para pencinta wastra tradisional, Museum Tekstil adalah ruang belajar, bermain, sekaligus berekreasi. Selain batik, pengunjung bisa bertemu ragam kain tradisional lain dari penjuru Indonesia dan mengenalnya lebih dalam, terutama ketika museum ini sedang menyelenggarakan pameran khusus.
Seperti yang beberapa waktu lalu digelar, pameran lurik menampilkan koleksi lurik beragam warna dan makna. Lewat pameran lurik, kita bisa menangkap pelajaran misalnya tentang betapa lenturnya proses penyerapan motif baru untuk lurik. Pada lurik klenting kuning misalnya, coraknya diturunkan dari sosok gadis berpendirian kuat dan tidak mudah dirayu dalam cerita rakyat Ande-ande Lumut.
Di bagian kebun pewarna alam, bagian lain Museum Tekstil, pengunjung juga dapat melihat langsung tanaman-tanaman yang menjadi sumber pewarna alami tekstil di lahan terbuka. Ada pohon mangga bunga merah yang kulit batangnya menghasilkan warna kuning atau hijau. Secang yang rebusan kayunya mengeluarkan warna merah gading. Atau kunyit yang bagian rimpangnya menghasilkan kuning.
Selain itu, di Museum Tekstil ada pula Galeri Batik yang menampilkan sejumlah batik yang kuno maupun kontemporer, perpustakaan yang menyediakan buku-buku tekstil, laboratorium yang menawarkan jasa perbaikan kain tradisional. Di bagian lain, ruang pengenalan wastra yang memberikan informasi soal alat dan bahan baku yang digunakan dalam membuat tekstil tradisional.
Lewat koleksi yang kekayaan informasi yang ditawarkannya, Museum Tekstil menjadi tempat yang baik untuk menyalurkan cinta pada wastra. Perasaan yang harus terus ditumbuhkan agar wastra-wastra asli Indonesia tetap punya tempat untuk berkembang. [NOV]
noted:Â Merawat Cinta pada Wastra