Beberapa waktu lalu, muncul istilah generasi “stroberi” yang mengibaratkan buah yang tampaknya kuat dan cantik dari luar, tetapi mudah hancur kalau ditekan. Istilah ini mungkin diarahkan kepada generasi Z yang sering terlihat cemas dan stres dengan tekanan-tekanan di tempat kerja yang dianggap “belum seberapa” oleh generasi sebelumnya. Kerentanan sering dianggap sebagai sebuah kelemahan karena membuat kita merasa tampak lemah dan tidak produktif.

Namun, menghadapi beragam hal yang melanda kehidupan belakangan ini dengan beragam ketidakpastian, perubahan yang intensif, kompleksitas yang tinggi, dan ketidakjelasan, rasanya bukan hanya anak muda yang dilanda kerentanan. Dengan kondisi seperti itu, apakah kita harus menerima dan berlindung di balik alasan kerentanan itu?

Manusia memiliki insting kuat untuk melindungi diri, menghindari rasa sakit dan luka. Menjadi rentan adalah bagian dari eksistensi kita sebagai manusia. Keadaan  rentan ini mengharuskan kita untuk menaikkan atau menurunkan pertahanan, menutup atau membuka diri untuk mengakui siapa diri kita sebenarnya.

Bila bertahan dan tidak mengakui kerentanan, kita berpotensi mengalami kecemasan kronis. Bayangkan berada dalam situasi yang membuat kita sering merasa takut untuk menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Membuat kita harus menyembunyikan perasaan, minat, atau kelemahan kita karena takut ditolak sebab bisa saja orang lain tidak berempati pada keadaan kita.

Berani walaupun takut

Alasan yang secara ketat menyelubungi kerentanan dalam diri kita adalah rasa malu. Brene Brown penulis buku Daring Greatly menjelaskan bahwa rasa malu adalah perasaan yang membuat kita merasa tidak baik-baik saja. Rasa malu bisa sangat memengaruhi hidup kita, membuat bersembunyi, dan menarik diri dari orang lain.

Bayangkan betapa banyaknya kesempatan dan kegembiraan yang mungkin hilang karena kita dilingkupi rasa malu kalau kalau orang lain melihat kelemahan kita. Dari menolak untuk mencoba suatu aktivitas baru karena malu jika ternyata tidak bisa menjalaninya dengan baik, malu karena tidak memiliki pasangan sehingga tidak berani pergi menonton film di bioskop, sampai malu meminta pertolongan orang lain meski membutuhkannya.

Brown mengajarkan bahwa keberanian sebenarnya berasal dari kerentanan. “Being vulnerable is scary. After all, it has the power to change your life,” ketika kita berani mengakui keadaan kita yang sebenarnya meskipun dengan risiko ditolak.

Agar dapat mengatasi rasa malu ini, kita perlu menghidupkan keberanian untuk mengambil risiko dan keluar dari zona nyaman. Menurut Brown, keberanian bukan berarti tidak ada rasa takut, melainkan justru tetap melangkah maju meskipun kita gentar. Ini bisa berupa tindakan kecil seperti berbagi ide di rapat, mengakui kesalahan, sampai berani mengatakan “tidak” pada hal-hal yang tidak sesuai dengan nurani kita.

Keberanian akan membuat hidup lebih bermakna dan penuh warna karena dijalani dengan otentik dan jujur terhadap diri sendiri. Kita tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Memiliki dukungan sosial membantu kita menghadapi tantangan dengan lebih baik. Brown menekankan betapa pentingnya memiliki orang-orang di sekitar kita yang menerima dan mendukung kita apa adanya.

Koneksi dengan orang lain membantu kita merasa diterima dan didukung, terutama ketika kita merasa rentan. Membangun hubungan yang kuat dan saling mendukung adalah kunci menjalani hidup dengan penuh keberanian.

Pemimpin yang berani menunjukkan kerentanannya bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan kreatif. Ketika pemimpin berani mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahannya, ia mendorong orang lain untuk berani melakukan hal yang sama dan menciptakan budaya yang membuat setiap orang merasa aman untuk menunjukkan diri mereka. Gaya kepemimpinan seperti ini dapat mendorong inovasi dan kolaborasi yang lebih baik.

Unboxing” diri

Jadi, bagaimana caranya menerima kerentanan sebagai bagian dari hidup kita sambil menumbuhkan keberanian untuk mengungkapkan diri kita sepenuhnya?

Pertama, amati emosi yang muncul dalam diri kita tanpa penghakiman. Apakah kita sedih, marah, dengki, cemas, takut, atau sangat bahagia? Izinkan diri kita merasakan apa yang dirasakan. Lalu, putuskan bagaimana kita akan mengekspresikannya. Saat setuju untuk mengambil risiko menjadi rentan dengan mengekspresikan secara terbuka perasaan, kita mulai merasakan kekuatan di sisi lain berupa keberanian dan kebahagiaan.

Kedua, kita bisa mempertanyakan nilai kehidupan apa yang paling kita hargai dalam hidup ini. Nilai yang paling berarti seperti keberanian, kebaikan, integritas akan membuat kita semakin jelas melihat apa yang kita butuhkan untuk menjadi bahagia. Dengan rasa ini, kita lebih mudah menerima kerentanan kita.

Ketiga, kerentanan ini adalah hak kita. Kita berhak memilih aspek apa yang cukup nyaman bagi kita untuk dibagikan kepada orang lain, mana yang tidak. Tidak perlu memaksakan diri untuk menyamakannya dengan orang lain. Kitalah yang menentukan kapan saat yang tepat.

Seperti hampir semua hal berharga dalam hidup yang harus diperoleh dengan perjuangan, kita pun perlu bekerja keras melatih diri untuk semakin kuat dan berani. Di tempat kerja, kita bisa mulai dengan mengambil lebih banyak tanggung jawab, lebih sering mengemukakan pendapat dan pemikiran kita, sampai berani secara terbuka mengakui kesalahan yang kita lakukan.

Dengan latihan, rasa percaya diri dan keamanan kita perlahan akan tumbuh dan mengalahkan rasa lemah.

Beranikan diri melangkah

Kerentanan adalah pengubah hidup. Dengan memanfaatkan kekuatan kerentanan, kita bisa mengungkapkan apa yang kita inginkan, meminta apa yang kita butuhkan, mengekspresikan emosi, dan merayakan pencapaian.

Setiap kali melakukannya, kita memperluas rasa percaya diri, keamanan, rasa memiliki, kebahagiaan, dan pertumbuhan. Dengan setiap latihan mengatasi kerentanan, kita semakin menjadi diri yang sejati dan utuh. Ketika memiliki penghargaan diri yang kuat, kita tidak lagi membutuhkan orang lain untuk mendefinisikan diri kita.

Kita dapat segera menjauh dari mereka yang memperlakukan kita dengan tidak hormat dan menarik perhatian orang-orang yang memperlakukan kita dengan baik. Segera, kita akan melihat kerentanan sebagai kekuatan, bukan kelemahan.

Menerima kerentanan adalah sebuah perjalanan, one step at a time.

EXPERD

HR CONSULTANT/KONSULTAN SDM

Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia.