Masalah dalam lingkungan kerja memang tiada habisnya jika dirunut satu per satu. Namun, hal ini bukan sesuatu yang aneh karena sesungguhnya tidak ada perusahaan yang sempurna. Bahkan, perusahaan yang telah berdiri selama puluhan tahun pun bisa ambruk dalam sekejap. Contohnya bisa dilihat secara gamblang pada sejumlah perusahaan teknologi informasi yang runtuh pelan-pelan karena kalah gesit dalam persaingan.
Atasan-bawahan
Tak perlulah mengambil masalah yang muluk-muluk atau kasus kejatuhan yang tergolong drastis. Selidikilah lingkungan kerja di sekitar Anda. Hal-hal sepele bisa berujung pada sesuatu yang parah jika tidak tertangani dengan baik. Misalnya antara atasan dan bawahan. Atasan tidak sempurna, tetapi bawahan juga tidak selalu benar. Konflik antara atasan dan bawahan memang sudah umum. Namun, ada baiknya kita mengambil dari sudut pandang atasan.
Setiap orang memang pribadi yang unik karena mempunyai sifat dan karakter tersendiri. Akan tetapi, saat masuk dalam lingkungan kerja sebuah institusi atau perusahaan, ego seseorang perlu ditinggalkan, melebur dalam kelompok, kemudian bekerja agar sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Sayangnya, hal ini tidak disadari oleh setiap orang.
Tidak sedikit supervisor, manajer, atau tingkatan otoritas yang lebih tinggi mengeluhkan bawahan yang malas, memanfaatkan perlengkapan kantor untuk kepentingan pribadi, terlalu banyak mengobrol dan bercanda saat jam kerja, atau masuk terlambat dan pulang terlalu cepat tanpa alasan yang jelas. Lebih-lebih jika tingkah laku anak buah mengganggu kinerja yang berujung pada merosotnya produktivitas. Ini bisa menjadi alasan posisi manajerial dan otoritas lainnya berada pada tingkat stres yang lebih tinggi. Namun, apakah anak buah bermasalah memang harus selalu “disingkirkan”?
Tiga cara
Ada tiga hal umum yang bisa dilakukan untuk menangani anak buah yang “bermasalah”. Pertama, melakukan tindakan keras, misalnya menegur keras, memberikan surat teguran resmi, atau mengeluarkan anak buah jika pelanggaran terlalu parah atau merugikan perusahaan. Misalnya, pencurian peralatan kantor atau membocorkan rahasia krusial perusahaan pada perusahaan kompetitor. Sebaliknya, tindakan keras kurang tepat jika ditujukan untuk pelanggaran yang terkesan sepele seperti anak buah terlambat masuk ke kantor karena harus mengantar istri yang tengah hamil ke rumah sakit.
Cara kedua adalah mendiamkan anak buah. Langkah ini diambil sejumlah atasan jika anak buah berlaku “masih dalam batas kewajaran atau bisa ditoleransi”. Misalnya, bercanda pada saat jam kerja. Terkadang situasi yang tegang dan kaku membuat anak buah atau karyawan tidak bisa bekerja dengan maksimal. Selingan humor segar di sela-sela kesibukan bagi sebagian atasan sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak mengganggu pekerjaan utama. Namun, jika sikap diam berlebihan, misalnya terjadi pelanggaran dan atasan tidak mengambil tindakan tegas, tentunya langkah ini tidak tepat.
Ketiga adalah menghadapi dan menyelesaikan persoalan secara langsung tanpa konfrontasi. Hal ini tidak mudah. Masalah-masalah dalam suatu perusahaan tidak jarang menyulut konflik dan memancing emosi atasan. Namun, atasan acap kali dihadapkan pada anak buah yang sebenarnya memiliki keunggulan dan kapasitas lebih, tetapi justru menyalahgunakannya atau tanpa sengaja anak buah tersebut melakukan kesalahan yang cukup fatal bagi perusahaan. Bisa jadi anak buah mempunyai sifat yang unik, misalnya kesulitan bersosialisasi atau terlalu introver sehingga tidak cocok, bahkan sering melakukan kesalahan, jika bekerja dalam tim.
Jika sudah begini, sebaiknya atasan tidak memandang anak buah sebagai masalah yang perlu ditindak tegas. Atasan hendaknya lebih mengenali karakter anak buah. Pengenalan karakter ini akan membantu cara penanganan yang tepat untuk mengatasi anak buah yang bermasalah.
Ini memang tidak semudah yang ditulis dan diucapkan. Namun, jika bersedia mendeteksi dari kinerja serta pola perilaku harian, atasan sebenarnya bisa memahami karakter anak buah. Jika karakter dan permasalahan diketahui secara jelas, langkah selanjutnya adalah mencari solusi dengan langkah yang tepat.
Namun, yang sering dilupakan adalah pengenalan atasan atas karakter diri sendiri. Ya, terkadang atasan hanya mengikuti ego dan mengeluarkan keputusan tanpa berpikir panjang atau memutuskan sesuatu dengan cara yang tidak benar, misalnya otoriter. Hal ini juga kurang tepat.
Seorang pemimpin pun perlu mawas diri dan mengetahui titik berat persoalan jika terlalu banyak anak buah yang “bermasalah”. Idealnya, seorang atasan atau pemimpin perlu mengenal karakter diri lebih baik dibandingkan pengenalan akan karakter anak buahnya. Dengan demikian, komunikasi yang efektif akan terjalin antara atasan dan bawahan. [MIL]
foto: shutterstock