Tatanan dan gaya potongan rambut menjadi penunjang gaya berbusana atau karakter diri. Adanya kebutuhan akan tatanan dan gaya potongan rambut yang selalu bisa disesuaikan dengan pakaian atau acara lainnya membuat banyak orang akhirnya memilih menggunakan wig/rambut palsu ketimbang harus “merombak” rambut asli berkali-kali, yang berisiko merusak kesehatan rambut.

Kehadiran wig telah ada sejak beribu tahun lalu. Pada era Mesir Kuno, penduduk Mesir menggunakan wig untuk melindungi kepala mereka yang botak dari sengatan sinar matahari. Ada beberapa alasan penduduk Mesir kala itu membotakkan kepala mereka.

Pertama, kepala botak menjadi kondisi yang paling nyaman untuk menghadapi iklim panas. Kedua, dapat menghindari kepala dari kutu rambut, yang kala itu menjadi masalah serius. Selain itu, penggunaan wig juga dimaksudkan untuk menunjang penampilan diri.

Pada era itu, bahan baku wig terbuat dari rambut asli manusia, wol domba, atau serat tumbuhan, tergantung dari status sosial. Wig menjadi bagian yang tak terpisahkan sehari-hari bagi masyarakat Mesir dan mengindikasikan status sosial mereka di lingkungan.

Biasanya, perempuan era itu memakai wig yang berbentuk kepang dan dilengkapi emas, cincin rambut, atau ornamen gading. Hal ini membuat wig perempuan terlihat lebih bergaya dari pada wig yang dipakai oleh laki-laki. Semakin rumit dan tebal wig menandakan status sosial si pemakai semakin tinggi.

Melansir Elegantwigs.com, peradaban lainnya yang juga memakai wig ada pada era Yunani Kuno, Romawi, dan Asiria. Zaman Romawi, perempuan-perempuan kalangan atas menggunakan wig yang berasal dari potongan rambut anak buahnya untuk kemudian dirangkai satu per satu hingga tebal. Ketebalan wig ini memengaruhi gaya rambut yang kala itu digandrungi.

Sementara itu, di Asia, seperti China, Jepang, dan Korea, wig digunakan sebagai penunjang pertunjukkan, seperti pertunjukkan teater tradisional China, kabuki Jepang, atau dipakai oleh entertainment kala itu seperti geisha Jepang dan kisaeng Korea.

Di Eropa, wig sempat tidak digunakan ketika memasuki Abad Pertengahan. Pada zaman ini, perempuan diperintahkan untuk menutup kepala mereka dan segala hal yang berbau dengan kecantikan dilarang.

Namun, kondisi ini berakhir ketika memasuki Abad Renaissance, gaya rambut kembali tren dan perempuan kembali memperlihatkan rambut mereka. Alih-alih menutupi kepala, mereka menghiasi rambut dengan kerudung berkilau dan perhiasan berkilauan. Sekali lagi wig perempuan muncul sebagai fashion dan kecantikan menjadi pertimbangan penting dalam masyarakat.

Kata “wig” diambil dari “periwig” yang berarti rambut palsu yang panjang. Ramainya wig dalam fashion juga tak luput dari Raja Perancis Louis XIII. Louis XIII mengalami kebotakan permanen saat berusia 29 tahun. Untuk menutupinya, dia mulai menggunakan wig.

Semenjak itu, wig menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya para bangsawan Perancis. Wig menjadi sebuah item fashion yang penting. Mulai abad ke-19, tradisi memakai wig sebagai simbol status sosial mulai ditinggalkan, terutama di Amerika Serikat dan Perancis karena peristiwa Revolusi Prancis.

Uniknya, penggunaan wig menjadi ciri khas atribut pakaian para penegak hukum di pengadilan Inggris. Penggunaan wig ini dimaksudkan untuk membedakan posisi masing-masing pihak dalam pengadilan. Wig yang digunakan oleh pengacara akan berbeda dengan wig yang digunakan oleh seorang hakim. Tradisi penggunaan wig ini kemudian dibawa oleh Inggris ke negara-negara jajahannya, termasuk Australia, Kanada, dan beberapa negara di Afrika. Meski demikian, kini ada yang menggunakannya dan ada yang sudah tidak menerapkan gaya tersebut.

Wig hingga saat ini tetap banyak peminatnya. Setidaknya untuk dunia hiburan dan bagi para peragawati, wig tetap memegang peranan penting. Kompas, 7 November 2012 menulis tentang Naomi Watts. Artis asal Australia ini mengaku tidak bisa hidup tanpa wig. “Kalau ada kebakaran, yang pertama kuraih adalah koleksi wigku. Aku serius, koleksi wigku banyak, dan beberapa di antaranya berharga ribuan dollar,” kata Watts (Kompas.id, Rambut Tiruan yang Terus Berjaya, 25/5). [*/ACH]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 26 Mei 2018